Deni menyodorkan tangan kami berdua untuk bersalaman dan bermaaf -- maafan. Mendengar nasehat tadi, aku menjadi turut kasihan pada Andre. Akhirnya aku memaafkan dia. Paling tidak hatiku menjadi sedikit lebih lega meskipun hukuman tetap harus dijalani.
Aku dan Andre tidak sekolah selama kurang lebih dua minggu. Sebenarnya ujian hanya seminggu, tetapi setelah itu libur selama seminggu hingga hari penerimaan rapor. Perlahan -- lahan pertemanan kami membaik, sesekali bermain bersama melalui games online. Kedengarannya mungkin seru, tetapi tidak juga. Setiap saat aku dihantui oleh rasa cemas tidak lulus sekolah. Tidak terbayang bagiku jika orang tuaku pulang dari kampung dan mendapat kabar bahwa anaknya tidak lulus. Di samping itu, aku juga berharap semoga Andre insaf dari sifat sombong dan keteledorannya itu.
Setelah dua minggu kami sekolah kembali untuk mengambil rapor. Rasa cemas mengacaukan pola tidurku. Akibatnya, aku terlambat sekolah. Sampai di kelas, ternyata pembagian rapor telah selesai . Teman -- teman di kelasku berhamburan pulang sambil membawa rapor mereka. Kecuali Andre yang tetap berada di dalam.
"Oi, Andre. Ngapain masih di sini?" Sapaku pada Andre.
Andre memyaut dengan raut kesal "Hadeh, lu kemana aja bro?? Orang pulang lu malah baru datang!" keluhnya.
"Maaf, aku kesiangan tadi. Eh rapornya udah dibagiin semua ya? Mana punyaku?"
"Untung gua sabar. Klo enggak, udah gua jual rapor lu." Andre mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
"Nih" Andre memberi rapor milikku. Ternyata dia sudah mengambil raporku saat pembagian tadi.
Aku langsung mengambilnya dan mengecek isi raporku. Rupanya telah tertulis surat keterangan lulus beserta nilaiku. Ternyata nilaiku tetap tinggi walaupun tanpa mengikuti ujian. Yah, itupun juga ada alasannya. Mengingat ujian akhir hanya mempengaruhi sepuluh persen dari nilai keseluruhan.
"Wahh, lulus ndre. Aku luluss." Aku melompat kegirangan.
"Ciee... bentar lagi jadi mahasiswa nih. Selamat ya bro, gua bangga sama lu!" puji Andre.