Wisnu, seorang siswa SMA kelas 12 sebentar lagi akan menghadapi ujian kelulusan sekolah. Begitupun sahabatnya. Andre namanya. Mereka berdua akan ujian, namun memiliki persiapan yang berbeda untuk menghadapinya.
Minggu itu, sehari sebelum ujian Wisnu menelepon Andre. Ia penasaran bagaimana persiapan sahabatnya itu
"Asalamualaikum, ndre. Gimana kabarmu?" kataku
"Wa'alaikumsalam, sehat bro. Lu sendiri gimana?" jawab Andre
"Seperti biasa kok, hehe. Ngomong -- ngomong kamu udah siap nggak untuk ujian besok? Apa saja persiapanmu?"
"Oh, gua mah santai aja. Ujiannya mudah kok. Kakak kelas kita dulu kebanyakan pada bilang gitu," balasnya dengan santai
Mendegar itu, aku sontak membantah, "Itukan ujian tahun lalu, ndre. Ujian sekarang soalnya makin sulit loh. Lagian kakak kelas dulu pinter semua, makanya mereka bilang mudah."
Dengan sombong Andre pun membalas, "Yah, gue juga pinter kok. Makanya gue bilang mudah, haha. Udah ya, gua mau ngegame dulu. Dadah."
Terkadang aku kesal, Andre yang tampak santai selalu mendapatkan nilai tinggi sedangkan aku yang mati -- matian belajar hanya mendapat nilai pas pasan. Tetapi kekesalan itu juga membuatku termotivasi untuk belajar giat. Aku yakin usaha tidak mengkhianati hasil.
Keesokan harinya, aku berangkat ke sekolah dengan motor ayahku. Sampai di sekolah, pekarangan dipenuhi oleh siswa -- siswa yang sibuk membolak -- balikkan halaman buku mereka. Mereka tak bosan bosannya membaca materi untuk ujian. Itu menandakan keseriusan mereka sangat tinggi untuk mendapat juara. Namun, dikala kesibukan itu aku teringat kembali tentang Andre. Apakah dia masih santai setelah melihat keadaan sekolah ini?
Sesampainya di ruang ujian, ternyata aku dan Andre ternyata ditempatkan di ruang yang sama. Alangkah senang hatiku menyadari hal tersebut. Apalagi ternyata tempat dudukku bersebelahan dengannya.
Andre ternyata sudah lebih dulu dariku. Heran, biasanya Andre selalu saja terlambat dan sering dihukum guru BK. Akupun langsung menyambutnya.
"Oii! Tumben datang pagi. Udah tobat ya langganan BK-nya? Hahahaha," kataku degan keras.
"Idih, biasa aja kali, klo gw jantungan gimana?!" Andre kaget dan mengkerutkan keningnya, "Emangnya kalo datang cepet kenapa? Iri bilang bos!" lanjut Andre
"Ya gapapa sih, heran aja kamu datangnya gak terlambat" kataku
"Hari pertama ujian tuh harus fresh dong! Masa' terlambat terus, hadeh," jawab Andre
Tak lama kemudian bel berbunyi, memerintahkan kami untuk melaksanakan apel pagi di lapangan sekolah. Berbagai informasi dijabarkan oleh Kepala Sekolah mengenai tata aturan ujian saat itu. Setelahnya, para siswa memasuki kembali ruangan ujian masing -- masing.
Setelah aku masuk dan duduk di tempatku, aku bertanya kembali kepada Andre tentang kesiapannya.
"Gimana keadaanmu ndre? Udah siap buat ujian?"
"Hmm, ya kalo ditanya tentang siap, gue siap siaga aja bro" lalu Andre menambah, "Oh iya, sekarang mapelnya apa ya?"
"Ya ampunn, kamu niat gak sih untuk ujian?! Ujian akhir loh ndre, masih sempat -- sempatnya nanya mapel apa pas saat ini. Keknya santaimu itu keterlaluan deh," aku kesal dengan sikap Andre.
"Hehehe" Andre hanya tertawa.
"Jam ujian telah dimulai" begitulah kira kira bunyi pengumuman yang berkumandang.
Pengurus ujian mulai membagikan kertas ujian kepada kami. Keadaannya begitu hening, hanya terdengar langkah kaki pengawas. Menciptakan suasana yang menegangkan.
"Baiklah anak -- anak, silahkan kerjakan ujian dengan JUJUR dan TELITI, waktu kalian adalah 120 menit. Bagi yang sudah siap silahkan tunggu sampai waktu ujian selesai. Dilarang mencontek," tegas pengawas.
Seisi siswa di ruangan itu mulai mengisi lembar ujian. Hari ini mata pelajarannya PKn, mata pelajaran favoritku. Semua soal itu rasa -- rasanya tidak sulit bagiku. Aku menjawab soal tersebut dengan lancar layaknya aliran air tanpa hambatan.
Tak sampai satu jam, aku sudah menyelesaikan semua soal. Lalu kulihat bagaimana keadaan Andre. Aneh, Andre yang biasanya santai sekarang kelihatan panik dan mukanya pucat. Akupun berbisik kepadanya.
"Psst.... ndre.... Andre...."
Andre langsung menyaut dan mengalihkan pandangannya kepadaku. "Kamu gapapa kan?" kataku.
"Tolong gua, nu. Plisss" Andre memohon padaku
"Tolong apa?" Aku tak tahu apa yang ia inginkan.
"Gue sama sekali gak tau apa jawaban soal ujian ini, nu. Tolongin gue dong."
"Aduh, sorry ya ndre. Bukannya aku jahat, tapi ini ujian akhir ndre. Gak main -- main hukumannya kalo ketahuan nyontek. Lagian kamu sih, udah dibilang ujiannya susah masih aja nyantai kayak pengangguran!" nasehatku pada Andre.
"Wah, tega lu ya. Orang mana yang gak mau nolongin sahabatnya, apalagi di saat -- saat genting ini. Atau... lu udah gak sahabatan ya sama gue?" ucap Andre dengan raut memelas.
"Bukan gitu ndre. Justru aku kayak gini untuk kebaikanmu. Kalo aku ngasih kamu contekan nanti nilaimu gak berkah, ndre. Terus pas kamu udah besar nanti, kamu jadi kebiasaan nyontek ndre," ucapku padanya.
"Terus lu mau gua jadi gak lulus karena nilai gua jelek? Percayalah, nu. Di zaman sekarang nilai lebih dibutuhkan daripada kejujuran," bantahnya.
"Ck, terserah lah. Aku udah ngingatin ke kamu. Gak bakalan sukses kalo kerja gak jujur!" ucapku.
Dengan terpaksa, aku memberi lembar ujianku kepada Andre untuk diconteknya. Namun sebelum itu, ternyata pengawas sudah ada tepat dibelakang, dan langsung menyita kertas ujian kami. Sepertinya dia sudah menyimak pembicaraan kami daritadi.
"Hebat ya kalian, sudah ujian akhir masih saja berani menyontek. Ikut saya ke ruang kepala sekolah, SEKARANG!" marah pengawas.
Kami tak punya pilihan apapun selain ikut pengawas ke ruang kepala sekolah. Tiba di sana, terlihat bapak kepala sekolah yang sedang menulis surat yang cukup rumit kelihatannya. Aku dan Andre duduk menghadap bapak itu, dia segera berhenti menulis dan bertanya pada pengawas, apa alasannya menggiring kami ke sini.
"Ada masalah apa ya buk?" tanya bapak itu kepada pengawas.
"Ini pak, dua anak ini tertangkap basah sedang menyontek" jawabnya.
"Oh, begitu ya. Baiklah" singkat bapak itu
Pengawas itu pergi dari ruang dan bapak kepala sekolah mulai menginterogasi kami.
"Kalian tau tidak ini ujian apa?" tanya bapak itu.
"Ujian akhir pak," kami menjawab serentak.
"Kalian sudah melakukan persiapan belum?" tanya bapak. Tetapi Andre hanya diam tertunduk, memaksaku untuk menjawab.
"S-ss-sudah pak," jawabku
"Lalu kenapa mencontek?"
Kami terpaku, tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Keadaan terasa canggung sekali kala itu. Lalu si bapak memberi kesimpulan.
"Bapak tidak punya banyak waktu. Untuk itu, dengan berat hati bapak mendiskualifikasi kalian dalam ujian ini. Kalian tidak boleh ikut ujian hingga selesai. Silahkan ambil tas kalian, pulang ke rumah, lalu introspeksi diri masing -- masing." Ucapnya.
Kami berjalan menuju ruang ujian. Jujur, aku sangat marah pada Andre. Gara -- gara dia, aku juga terkena imbasnya. Selama perjalanan, aku tidak mengeluarkan sepatah katapun padanya. Kamipun menyandang tas untuk pulang.
"Wisnu, sorry ya" Andre meminta maaf padaku.
"Percuma ndre, gak ada efeknya. Ini semua gara -- gara mu," aku menolaknya.
"Wisnu, lu gitu ya sekarang. Udah gak mau maafin gue," bantahnya.
"Terus kenapa? Mentang -- mentang kamu sahabatku, enak saja kamu seperti itu. Emangnya masalah selesai kalau sekedar minta maaf saja?!" aku menaikkan nadaku.
"Terus lu maunya apa, hah? Nyogok guru biar nilai kita tinggi? Andre juga menaikkan nadanya.
"Lama -- lama kamu itu kayak bajingan ya ndre" kataku dengan sinis.
Andre naik pitam dan menaikkan kerah bajuku. "Lu bilang apa barusan? BAJINGAN?" ucapnya.
Kami terlibat perdebatan yang mengundang perhatian siswa sekitar. Mereka bersorak seolah -- olah sedang melihat pertandingan yang sengit. Namun, tiba -- tiba salah seorang dari mereka melerai kami. Rupanya itu Deni, salah satu teman kami.
"Woi berhenti, berhenti!!" lerai Deni. "Kalian kenapa bertengkar sih?" sambungnya
"Tanya aja sama anak itu." Aku menunjuk ke Andre.
"Gua nyontek ke dia, tapi kami malah ketahuan. Terus gua minta maaf ke dia, eh malah gak terima. Udah gitu ngelunjak lagi."
Aku tidak diam begitu saja, aku harus membela diriku. Lalu aku menjawab. "Kalo gak gara -- gara dia, gak bakal ada masalah ini. Lagian minta maaf aja emang masalah selesai?"
"Sudah, sudah. Cukup. Karena ulah kalian berdua, sekarang kena hukuman. Lalu solusi kalian dengan bertengkar? Yang ada malah memperburuk nama baik, serta hubungan silaturrahmi kalian. Jangan sampai pertemanan kalian rusak karena masalah ini. Apalagi kalau nanti sampai ada korban, bagaimana? Mau kalian bertanggung jawab?" kata Deni sambil menahan kami.
"Lagipula kalau sekiranya minta maaf tidak menyelesaikan masalah, paling tidak menerima maaf itu melegakan hatimu, Wisnu. Tidak kasihan pada Andre? Dia sudah minta maaf duluan loh. Jarang -- jarang kita bertemu orang yang langsung mengakui kesalahannya."
Deni menyodorkan tangan kami berdua untuk bersalaman dan bermaaf -- maafan. Mendengar nasehat tadi, aku menjadi turut kasihan pada Andre. Akhirnya aku memaafkan dia. Paling tidak hatiku menjadi sedikit lebih lega meskipun hukuman tetap harus dijalani.
Aku dan Andre tidak sekolah selama kurang lebih dua minggu. Sebenarnya ujian hanya seminggu, tetapi setelah itu libur selama seminggu hingga hari penerimaan rapor. Perlahan -- lahan pertemanan kami membaik, sesekali bermain bersama melalui games online. Kedengarannya mungkin seru, tetapi tidak juga. Setiap saat aku dihantui oleh rasa cemas tidak lulus sekolah. Tidak terbayang bagiku jika orang tuaku pulang dari kampung dan mendapat kabar bahwa anaknya tidak lulus. Di samping itu, aku juga berharap semoga Andre insaf dari sifat sombong dan keteledorannya itu.
Setelah dua minggu kami sekolah kembali untuk mengambil rapor. Rasa cemas mengacaukan pola tidurku. Akibatnya, aku terlambat sekolah. Sampai di kelas, ternyata pembagian rapor telah selesai . Teman -- teman di kelasku berhamburan pulang sambil membawa rapor mereka. Kecuali Andre yang tetap berada di dalam.
"Oi, Andre. Ngapain masih di sini?" Sapaku pada Andre.
Andre memyaut dengan raut kesal "Hadeh, lu kemana aja bro?? Orang pulang lu malah baru datang!" keluhnya.
"Maaf, aku kesiangan tadi. Eh rapornya udah dibagiin semua ya? Mana punyaku?"
"Untung gua sabar. Klo enggak, udah gua jual rapor lu." Andre mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
"Nih" Andre memberi rapor milikku. Ternyata dia sudah mengambil raporku saat pembagian tadi.
Aku langsung mengambilnya dan mengecek isi raporku. Rupanya telah tertulis surat keterangan lulus beserta nilaiku. Ternyata nilaiku tetap tinggi walaupun tanpa mengikuti ujian. Yah, itupun juga ada alasannya. Mengingat ujian akhir hanya mempengaruhi sepuluh persen dari nilai keseluruhan.
"Wahh, lulus ndre. Aku luluss." Aku melompat kegirangan.
"Ciee... bentar lagi jadi mahasiswa nih. Selamat ya bro, gua bangga sama lu!" puji Andre.
"Kalo kamu bagaimana ndre? Lulus?"
"Gua...., gimana ya?" Andre memelankan suara dan menundukkan kepala, tangannya dimasukkan ke saku
"ndre...?" Aku bertanya sekali lagi.
"Lulus dongg, gak mungkin gak lulus... hahahaha" Andre mengeraskan suaranya lagi, mengeluarkan surat lulus miliknya dari saku. Nilainya tetap saja lebih tinggi dariku.
"Loh kok bisa sih nilaimu lebih tinggi? Iri deh" kataku dengan skeptis.
"Ada deh....hehehe" jawab Andre
Singkat cerita kami lulus SMA. Rasa cemasku telah hilang dan bisa mengabari kepada orang tua mengenai kelulusanku. Walaupun ujian tidak berjalan lancar dan ajaib rasanya bahwa kami lulus tanpa nilai ujian, tapi ya sudahlah. Semoga saja orang tuaku tidak tahu tentang kejadian ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI