Apa Itu Treaty Shopping?
Treaty Shopping merupakan praktik penyalahgunaan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) oleh entitas atau individu yang tidak seharusnya mendapatkan manfaat dari perjanjian tersebut. Dalam konteks ini, pihak yang tidak berhak dengan sengaja menyusun struktur perusahaan atau transaksi lintas negara untuk mengakses tarif pajak lebih rendah melalui negara yang memiliki perjanjian P3B menguntungkan.
Tiga elemen utama dalam skema treaty shopping adalah:
-
Negara Domisili Asli (misalnya investor yang berasal dari negara A),
Negara Perantara (Conduit Country) yang memiliki P3B dengan tarif pajak lebih rendah dengan negara sumber,
Negara Sumber Penghasilan (seperti Indonesia) tempat penghasilan dihasilkan.
Skema ini memungkinkan pihak yang bukan penduduk negara perantara memperoleh manfaat pajak seolah-olah mereka adalah penduduk negara tersebut. Ini dilakukan dengan mendirikan Special Purpose Vehicle (SPV) atau perusahaan cangkang yang secara formal berdomisili di negara perantara, meski secara substansi tidak melakukan aktivitas bisnis nyata di sana.
Mengapa Treaty Shopping Menjadi Masalah Serius?
Treaty shopping menjadi sorotan tajam karena efeknya yang merugikan negara, merusak sistem perpajakan internasional, dan mendorong praktik penghindaran pajak agresif. Beberapa alasan mengapa ini menjadi perhatian utama antara lain:
Kehilangan Penerimaan Negara (Loss of Revenue):
Praktik ini memungkinkan pengalihan pendapatan lintas negara ke yurisdiksi yang memiliki tarif PPh rendah atau nol. Bagi negara sumber seperti Indonesia, hal ini berarti hilangnya penerimaan dari Pajak Penghasilan Pasal 26 yang tarif normalnya bisa mencapai 20%.Persaingan Usaha Tidak Sehat:
Treaty shopping menciptakan ketimpangan antara entitas yang mengakses tarif pajak lebih rendah dengan yang membayar tarif normal. Hal ini menyebabkan distorsi dalam kompetisi pasar.-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!