Kalau nanti Indonesia kalah, aku tak akan marah. Karena aku tahu, kalah tak selalu berarti gagal. Kadang, justru di situlah letak pembelajaran paling berharga.
Aku akan tetap mendukung, tetap percaya, tetap bertepuk tangan, seperti dulu aku percaya pada kita, bahkan saat semuanya mulai renggang. Karena mencintai seseorang itu mirip mendukung Timnas: tak bisa setengah hati, meski hasilnya tak selalu seindah harapan.
Dan ketika orang-orang mulai menulis komentar tajam di media sosial, aku akan menulis versiku sendiri:
"Kadang strategi hati juga perlu diubah, tapi kesetiaan tetap dipertahankan."
Antara Aku, Kamu, dan Garuda
Setiap kali Garuda bertanding, ada sesuatu yang tumbuh di dada, semacam harapan yang tak pernah padam. Semua orang bersatu, semua percaya. Mungkin begitulah rasanya jika dua orang yang pernah berpisah akhirnya bisa saling memaafkan.
Aku ingin menjadi seperti suporter Indonesia, yang tak pernah berhenti berharap meski peluang tipis untuk menang, yang terus menyanyikan lagu cinta bagi negaranya meskipun badai menghadang. Kalau mereka bisa tetap bernyanyi meski tertinggal, aku pun bisa tetap mencintai meski tak dibalas, karena cinta yang tulus tidak bergantung pada hasil, tapi pada keberanian untuk tetap setia, dan melambungkan doa-doa baik tuk kebahagiaanmu.
Dan kalau nanti Indonesia benar-benar lolos ke babak berikutnya atau Piala Dunia 2026, aku akan menulis lagi tentang bagaimana cinta dan sepak bola punya tujuan yang sama, membuat kita tak berhenti berharap, dan mengulang doa untuk satu harapan yang sama, menunggu tanpa menganggu.
Menjaga Asa di Bulan Oktober
Oktober ini terasa hangat. Dua laga besar menanti, dua kesempatan untuk merayakan semangat, dan mungkin satu kesempatan kecil untuk mengucapkan, "Hai, apa kabar?" atau "Kamu baik-baik saja kan?" dengan harapan dia menjawab, dan percakapan yang terputus bisa kembali bersambung.
Aku tak tahu apakah kamu masih membaca tulisanku, tapi jika iya, semoga kamu tahu, bahwa di setiap sorak "Garuda di Dadaku", ada juga bisikan kecil yang menyebut namamu. Aku tak lagi menunggu, tapi aku juga tak pernah berhenti mendoakan.