Kampus, Mimpi, dan PerjuanganÂ
Di balik hiruk-pikuk dunia kampus, mahasiswa punya jalannya masing-masing. Ada yang merantau dengan mi instan sebagai sahabat setia, ada pula yang tinggal di rumah dengan cuci piring sebagai rutinitas harian. Meski berbeda, keduanya sama-sama berjuang demi cita-cita.
Sudah puluhan tahun istilah anak kos melekat erat dalam kehidupan kampus di Indonesia. Di setiap sudut kota pelajar seperti Yogyakarta, Bandung, Malang, atau Surabaya, kehidupan mahasiswa kos selalu jadi cerita yang tak ada habisnya. Mereka datang dari pelosok daerah, memikul doa orang tua, dan menempuh jarak ratusan kilometer demi satu tujuan: menggapai cita-cita yang mulia.
Kisah perjuangan anak kos sering digambarkan heroik, bahkan kadang klise. Kita tentu pernah mendengar slogan yang terpampang di dinding sekolah: "Aku datang demi sebuah cita-cita." Kalimat sederhana itu seolah jadi pengingat bahwa ada ribuan anak muda yang meninggalkan kenyamanan rumah demi masa depan yang cerah.
Di dunia maya, cerita anak kos bahkan sering jadi bahan guyonan saat di tongkrongan. Meme tentang dompet menipis menjelang akhir bulan, eksperimen masak mi instan dengan lauk tak terduga, hingga perjuangan menahan lapar karena uang kiriman belum masuk. Pahit getir kehidupan anak kos justru sering berubah jadi bahan tawa yang relatable.
Namun, di balik hingar-bingar narasi anak rantau, ada satu kelompok mahasiswa yang jarang disorot: mahasiswa rumahan. Mereka yang kuliah di kota kelahirannya sendiri, tetap tinggal bersama keluarga, dan setiap hari berangkat dari rumah. Seolah dianggap "lebih ringan" karena tidak perlu bayar kos atau kontrakan. Padahal, mahasiswa rumahan pun punya cerita dan kegalauan tersendiri yang tak kalah memprihatinkan.
Data Terkini: Potret Mahasiswa 2025
Menurut Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) 2025, jumlah mahasiswa aktif di Indonesia mencapai hampir 10 juta orang. Menariknya, sekitar 60 persen di antaranya kuliah di provinsi asal mereka, alias lebih dekat dengan rumah. Sisanya memilih merantau, pindah ke kota lain demi kampus impian.
Angka ini menunjukkan bahwa secara kuantitas, mahasiswa rumahan justru lebih banyak. Namun, secara narasi publik, kisah anak kos tetap lebih populer. Media massa, film, maupun konten humor di internet lebih sering mengangkat kisah perjuangan anak rantau: dari cari kontrakan murah, mengatur uang saku, hingga pulang kampung di musim liburan.
Di sisi lain, kisah mahasiswa rumahan seakan kurang menarik perhatian, meskipun realitasnya merekalah yang lebih dominan secara jumlah. Padahal, baik anak kos maupun anak rumahan, keduanya sama-sama menghadapi tantangan yang berbeda, sesuai dengan kondisi masing-masing.
Kehidupan Sehari-Hari: Dapur vs Warung
Sepulang kuliah, anak kos biasanya mampir ke warung makan langganan. Dari nasi padang, warteg, hingga ayam geprek paket hemat. Setiap warung punya pelanggan setia dari kalangan mahasiswa, dan anak kos hafal betul di mana letak warung terenak sekaligus termurah. Ada semacam "peta kuliner survival" yang hanya diketahui komunitas anak kos.
Sebaliknya, anak rumahan langsung pulang ke rumah. Begitu masuk dapur, nasi sudah siap, lauk tinggal pilih, dan makan bisa dilakukan dengan nyaman di meja makan. Tapi ada konsekuensinya: selesai makan harus cuci piring.
"Kos atau rumahan, tetap satu: berjuang demi cita-cita."
Jangan heran bila anak rumahan sering bingung ditanya, "Warung enak dan murah di sekitar kampus di mana ya?" Mereka sering tidak tahu, sementara anak kos bisa menyebut lima nama sekaligus, lengkap dengan rating ala lidah mahasiswa.
Tugas Kuliah: Lembur vs Sungkan
Tugas kuliah jelas berbeda dengan zaman SMA. Mahasiswa dituntut mengerjakan makalah, presentasi, laporan, hingga penelitian kecil-kecilan.
Bagi anak kos, lembur mengerjakan tugas sampai larut malam di kamar teman sudah hal biasa. Mereka duduk melingkar, laptop terbuka, kertas berserakan, sambil ditemani gorengan dan kopi sachet. Rasa kantuk dikalahkan oleh semangat kebersamaan.
Namun, bagi anak rumahan, situasinya berbeda. Pulang larut malam kerap membuat perasaan tidak enak. Mengetuk pintu rumah ketika semua orang sudah tidur, atau harus menjelaskan mengapa pulang jam 11 malam hanya untuk "ngerjain tugas kelompok", seringkali bikin sungkan. Apalagi bagi mahasiswa perempuan, tekanan sosial dan norma keluarga membuat mereka harus ekstra hati-hati.
Liburan: Pulang Kampung vs Tinggal di Rumah
Bagi anak kos, libur semester adalah surga. Saat kereta penuh sesak oleh mahasiswa yang pulang kampung, suasana stasiun dan terminal mendadak penuh warna. Pulang berarti kembali ke pelukan keluarga, melepas rindu, dan tentu saja menyantap makanan rumah yang sudah lama dirindukan.
Namun, bagi anak rumahan, liburan justru terasa sepi. Teman-teman kampus pulang ke kota masing-masing, sementara ia tetap tinggal di rumah. Rutinitas sehari-hari berjalan seperti biasa. Ketika dosen bertanya, "Libur kemarin ngapain saja?" jawabannya sering sederhana: "Di rumah saja."
Pandangan Orang Tua
Orang tua anak kos biasanya lebih memahami bahwa anak mereka di perantauan memang sibuk belajar. Ketika ditanya lewat telepon, jawaban yang sering muncul: "Iya, masih buat tugas. Sudah makan kok, tenang aja, Ma."
Sebaliknya, orang tua anak rumahan lebih sering memantau secara langsung. Pertanyaan sederhana seperti "Baru pulang jam segini?" atau "Tugasnya banyak banget, ya?"Â bisa jadi sumber tekanan tersendiri. Mahasiswa rumahan harus pandai menjelaskan bahwa kegiatan kampus memang menyita waktu, bukan sekadar alasan untuk pulang larut.
Mahasiswa kos dan rumahan, dua jalan satu perjuangan yang sama.
Pada akhirnya, baik anak kos maupun anak rumahan, keduanya sama-sama sedang menempuh perjalanan menuju kedewasaan. Anak kos belajar tentang kemandirian: mengatur uang, mencuci baju, bertahan hidup di perantauan. Anak rumahan belajar menyeimbangkan prioritas: kuliah, tanggung jawab keluarga, hingga norma sosial yang mengikat.
Bagi para orang tua, percayalah: apa pun statusnya, anak-anak ini sedang berjuang. Anak kos mungkin tak pernah cerita detail soal mie instan yang jadi sahabat setia, atau malam-malam dingin ketika uang saku menipis. Anak rumahan mungkin jarang bilang bahwa pulang larut dengan perasaan sungkan itu melelahkan, atau bahwa menjelaskan "kenapa kuliah itu penting" bisa membuat mereka patah kata.
Untuk sesama mahasiswa, jangan pernah merasa perjuanganmu lebih berat hanya karena kamu jauh dari rumah, atau lebih ringan hanya karena kamu tinggal di rumah. Jalan kita memang berbeda, tapi rasa lelah, rindu, tanggung jawab, dan mimpi---semua sama.
Suatu hari nanti, ketika wisuda tiba, toga yang kita kenakan tidak lagi membawa label "kos" atau "rumahan". Yang ada hanyalah nama, keluarga, dan harapan yang sama: menjadi orang berguna.
Dan mungkin, ketika itu tiba, kita akan tersenyum sambil berkata dalam hati: "Ternyata perjalanan ini memang berat, tapi sangat layak dijalani."
Paji HajjuÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI