Namun, bagi anak rumahan, liburan justru terasa sepi. Teman-teman kampus pulang ke kota masing-masing, sementara ia tetap tinggal di rumah. Rutinitas sehari-hari berjalan seperti biasa. Ketika dosen bertanya, "Libur kemarin ngapain saja?" jawabannya sering sederhana: "Di rumah saja."
Pandangan Orang Tua
Orang tua anak kos biasanya lebih memahami bahwa anak mereka di perantauan memang sibuk belajar. Ketika ditanya lewat telepon, jawaban yang sering muncul: "Iya, masih buat tugas. Sudah makan kok, tenang aja, Ma."
Sebaliknya, orang tua anak rumahan lebih sering memantau secara langsung. Pertanyaan sederhana seperti "Baru pulang jam segini?" atau "Tugasnya banyak banget, ya?"Â bisa jadi sumber tekanan tersendiri. Mahasiswa rumahan harus pandai menjelaskan bahwa kegiatan kampus memang menyita waktu, bukan sekadar alasan untuk pulang larut.
Mahasiswa kos dan rumahan, dua jalan satu perjuangan yang sama.
Pada akhirnya, baik anak kos maupun anak rumahan, keduanya sama-sama sedang menempuh perjalanan menuju kedewasaan. Anak kos belajar tentang kemandirian: mengatur uang, mencuci baju, bertahan hidup di perantauan. Anak rumahan belajar menyeimbangkan prioritas: kuliah, tanggung jawab keluarga, hingga norma sosial yang mengikat.
Bagi para orang tua, percayalah: apa pun statusnya, anak-anak ini sedang berjuang. Anak kos mungkin tak pernah cerita detail soal mie instan yang jadi sahabat setia, atau malam-malam dingin ketika uang saku menipis. Anak rumahan mungkin jarang bilang bahwa pulang larut dengan perasaan sungkan itu melelahkan, atau bahwa menjelaskan "kenapa kuliah itu penting" bisa membuat mereka patah kata.
Untuk sesama mahasiswa, jangan pernah merasa perjuanganmu lebih berat hanya karena kamu jauh dari rumah, atau lebih ringan hanya karena kamu tinggal di rumah. Jalan kita memang berbeda, tapi rasa lelah, rindu, tanggung jawab, dan mimpi---semua sama.
Suatu hari nanti, ketika wisuda tiba, toga yang kita kenakan tidak lagi membawa label "kos" atau "rumahan". Yang ada hanyalah nama, keluarga, dan harapan yang sama: menjadi orang berguna.
Dan mungkin, ketika itu tiba, kita akan tersenyum sambil berkata dalam hati: "Ternyata perjalanan ini memang berat, tapi sangat layak dijalani."
Paji HajjuÂ