Watohari Sesudah Pagi
Pesan dari ibu yang terus-menerus ia ulangi tetap terpatri dalam ingatan, mengingatkan akan pentingnya cinta dalam hidup yang singkat. "Tanamkan hanya kasih sayang," ujarnya, lalu-lalang, seolah menjadi mantra yang menghibur dalam kesepian yang panjang. Beribu-ribu hari, dalam pelukan malam tanpa henti, mendengarkan bisikan syahdu bintang, kita berjuang sebagai pejuang. Namun, pada akhirnya, kita kembali ke lorong sunyi masing-masing. Kebiasaan yang menenangkan ini menggerus harapan, membuat kita merasakan tidak ada yang tersisa untuk diperjuangkan. Untuk dimenangkan.
"Kita tidak ditakdirkan untuk disukai semua orang. Yang benci biarlah benci dengan alasannya sendiri. Tidak perlu berupaya meyakinkan, sebab ia akan tetap yakin pada kebenciannya."
Sabda bijak yang pernah kujamah, mengingatkan bahwa tidak semua orang akan menyukai kita dengan setulus kasih. Kebencian sering kali mengakar di jiwa, dan kita tak perlu berusaha meyakinkan mereka sekuat tenaga. Masing-masing membawa alasannya sendiri-sendiri, dan kita tidak bisa memaksakan perubahan itu untuk kesempurnaan diri. Berulang kali kita terjebak dalam siklus tidak berkesudahan, berusaha memenuhi harapan orang lain, sementara diri sendiri terlupakan dalam keramaian.
Mengapa kita harus saling menjatuhkan? Bukankah lebih baik jika kita saling mendukung dan memajukan satu sama lain? Tepuk tangan yang berlebihan hanya menciptakan kebisingan, bukan kebersamaan. Ketika semua orang ingin jadi pusat perhatian, yang terjadi justru kekisruhan, bukan kolaborasi. Dalam lautan manusia, siapa yang benar-benar mendengarkan dengan seksama? Atau jangan-jangan mereka yang hadir menyembunyikan diri di balik topeng kesederhanaan?
Watohari sesudah pagi, semoga yang pernah jatuh bisa berangsur sembuh. Semoga yang sempat merasakan perih bisa segera pulih. Udara selepas subuh memang menyerupai seorang ibu yang tabah merawat luka dan segala jenis rasa sakit di dada. Di atas bumi yang terus berputar ini, kita sering kali dihadapkan pada rasa sakit. Namun, ada pula pelajaran yang bisa diambil dari setiap pengalaman. Adakah pengalaman indahmu yang teringat? Selalu posisikan dirimu sebagai manusia. Jangan cepat membenci, jangan cepat marah, karena terkadang telinga salah mendengar, mulut salah berkata, dan hati kadang salah dalam menduga. Belajarlah jadi seorang pemaaf, berhenti jadi pembenci; berusahalah memperbaiki diri.
Ayah juga pernah berpesan, "Setiap langkah memiliki jalan pergi dan pulang." Namun, ada satu hal yang pasti: usia tidak memberi kita kesempatan untuk kembali. Kita terus melangkah, kadang tanpa arah yang jelas. Di antara hingar-bingar dunia, kita sangat mudah untuk kehilangan jejak dan lupa akan tujuan kita yang sebenarnya. Hidup ini penuh misteri dan terkadang pertanyaan yang kita ajukan jauh lebih berharga daripada jawaban yang kita temukan.
Kalau hidup masih saling membutuhkan, kenapa harus saling menjatuhkan? Ironisnya, kita manusia sudah berulang kali saling meminta maaf dan memaafkan, tapi setelahnya kembali lagi pada kekerasan yang sama, sakit hati yang sama, dendam marah yang sama, benci yang sama, permusuhan yang sama. Bukankah hidup tentang maaf memaafkan, maklum memaklumi, dan saling mempercayai satu sama lain? Budaya kita bukan saling dukung tapi saling tikung? Semoga tidak demikian.
Sadar atau tidak, kita sering kali berlomba untuk menunjukkan siapa yang paling menderita. Namun, alih-alih menyembuhkan, kita malah saling melukai. Kita sibuk membuktikan siapa yang lebih kuat, tanpa menyadari bahwa kita semua merasakan sakit yang sama. Dari persaingan ini, kita lupa bahwa tujuan akhir seharusnya adalah saling menyembuhkan. Bisakah memaafkan tanpa lagi mengungkit? Bisakah memaafkan tanpa lagi menceritakan? Sesederhana memaafkan lalu melupakan, dan kembali berpegangan tangan. Sesederhana memaafkan dengan sabar, dan saling belajar dari kesalahan. Bukankah tak ada yang benar-benar salah, atau sepenuhnya benar?
Watohari sesudah pagi, benarkah penghuninya sekarang menjelma seperti ini? Sering kali kita bertengkar, berdebat panjang demi mendewakan segala hal yang sebenarnya juga berada di bawah kendali yang sama. Kita sibuk merasa paling benar, paling baik seleranya, paling bagus logikanya, paling berkualitas pilihannya, tanpa sadar kita semua hanya pasar di bawah pemilik kendali yang sama. Nyatanya, kita terlalu sibuk membuktikan siapa yang paling terluka, sampai lupa kalau seharusnya kita saling menasihati, saling menguatkan.