Di tengah dinamika kehidupan kota yang serba cepat, fenomena pengemis telah menjadi pemandangan yang tidak asing lagi di ruang publik. Namun, praktik pengemis tampaknya mengalami transformasi yaitu sejumlah individu yang memilih membalut aktivitas mengemis ke dalam simbolisme religius.
Mereka (pengemis) tidak hanya memanfaatkan ruang-ruang fisik, tetapi juga memainkan ruang simbolik yang berkaitan erat dengan nilai-nilai keagamaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Atas dasar tersebut, kerap kali memanfaatkan kedalaman emosional yang ditawarkan oleh simbol-simbol keagamaan, kemudian dimodifikasi demi mendapatkan simpati atau bahkan rasa kewajiban moral dari para pemberi.
Masyarakat pada umumnya, kerap kali memandang mengemis sebagai suatu pekerjaan yang hina-miskin. Namun, dalam parsepsi para pengemis itu sendiri, mengemis adalah "pilihan hidup", karena dengan melalui cara ini mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Asumsi tersebut kini mulai berubah seiring perkembangan zaman. Meski masih ada persepsi bahwa pengemis adalah orang miskin, kenyataannya tidak selalu demikian. Perilaku mengemis telah bergeser orientasinya. Mengemis tidak lagi sekadar menjadi jalan keluar dari keterpurukan ekonomi, melainkan menjadi pilihan 'profesi' yang dianggap menguntungkan. Dengan modal yang relatif sedikit, pengemis bisa menghasilkan pendapatan yang cukup memuaskan.
Tidak heran ketika kita menemukan seorang pengemis di jalan yang berpura-pura cacat fisik, melipat kaki lalu membalutnya dengan kain, pura-pura tidak melihat. Tidak hanya mengandalkan penampilan fisik, pengemis juga menggunakan agama untuk menarik perhatian dan empati dari orang-orang yang ada disekitarnya seperti membaca sholawat, melantunkan ayat-ayat pilihan atau surah-surah pendek ataukah "seolah-olah" sedang berdoa di tengah kesulitan untuk membangkitkan rasa belas kasih dari masyarakat.
Dalam konteks ini, pengemis tersebut menggunakan strategi masking identity, di mana ia menyembunyikan aspek-aspek kehidupan yang sebenarnya dengan membangun citra yang berbeda. Melalui penampilan yang sengaja dibentuk, ia berusaha menutupi identitas yang sesungguhnya. Dengan cara ini, ia menciptakan ruang untuk memperoleh empati dan dukungan dari orang lain.
Pengaburan Antara Kebutuhan dan Manipulasi
Sebagai seorang perantau yang jauh dari keluarga dan kampung halaman, saya merasakan betapa kerasnya hidup di kota besar. Uang yang seharusnya cukup untuk satu minggu habis hanya dalam dua hari. Bagaimana tidak, hampir semua kebutuhan dasar membutuhkan biaya. Mulai dari makan, minum, hingga sekadar parkir motor. Kota dengan segala kesibukannya menuntut saya untuk berhati-hati dalam mengatur pengeluaran, tetapi kenyataannya, uang terasa begitu cepat menguap.
Sejak kecil, saya selalu diajarkan untuk menjadi pribadi yang mandiri, menjaga nilai bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Selain itu, saya juga diajarkan tentang pentingnya bersedekah. Bukan sekadar memberi, namun saya percaya bahwa sedekah adalah bagian dari ibadah yang tidak akan mengurangi harta, melainkan akan dibalas Tuhan berkali lipat. Prinsip ini selalu saya pegang, hingga terbawa dalam setiap keputusan kecil untuk berbagi, terutama kepada mereka yang saya yakini membutuhkan.
Namun, tinggal di kota besar sering kali membuat saya berada dalam situasi dilema, terutama ketika berhadapan dengan pengemis. Ada berbagai jenis pengemis yang saya temui. Banyak di antaranya membawa nuansa religius dalam penampilan dan tindakannya. Pernah suatu kali, seorang ibu mendatangi saya dengan anaknya yang masih kecil. Anak itu membacakan ayat-ayat suci Al-Quran dengan suara lirih dan penuh harap. Saya tergerak, merasa bahwa anak tersebut dibimbing oleh ibunya untuk berbuat baik, namun saya juga tidak bisa menampik rasa curiga.