Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita di Balik Motif Songket Pandai Sikek.

14 September 2025   10:03 Diperbarui: 14 September 2025   10:03 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik motif songket Pandai Sikek, tersembunyi cerita.
Ada kisah tentang pucuk rebung sebagai lambang pertumbuhan. Tentang keluak paku yang melambangkan kerapian dan kehormatan. Tentang aturan tenun yang tidak boleh dilanggar, karena setiap pola punya makna, setiap warna punya peran.

Sayangnya, cerita-cerita itu sering berhenti di lumbung-lumbung ingatan para penenun sepuh. Generasi baru mengenal songket sebagai barang etnik yang "Instagrammable"---bukan sebagai teks budaya yang bisa dibaca dan dimaknai.

Pertanyaannya: bisakah narasi seperti ini dihidupkan ulang lewat teknologi digital? Bukan hanya untuk dilestarikan, tapi juga untuk "dijual"---secara etis---ke dunia global?

Dari Cerita ke Konten: Jalan Baru Ekonomi Kreatif

Kita hidup di zaman di mana konten adalah mata uang baru. Yang viral, yang menyentuh emosi, yang membawa cerita kuat---itulah yang memenangkan pasar.

Di sisi lain, Indonesia adalah negara yang kaya narasi lokal, namun sering kali gagap mengelolanya dalam bentuk konten digital yang relevan dan menjual.

Ambil contoh songket Pandai Sikek. Ia bukan hanya kain---ia adalah artefak budaya visual yang memuat narasi rakyat: tentang alam, adat, perempuan, kerja, dan kearifan hidup. Tapi sejauh mana narasi ini ditampilkan dalam ekosistem digital?
Apakah sudah ada webseries, podcast, game edukatif, film pendek, atau bahkan NFT yang lahir dari nilai-nilai songket?

Belum banyak. Dan inilah peluang sekaligus tantangannya.

Narasi Budaya: Bukan Lagi Cerita Pinggiran

Dalam ekonomi industri, khususnya sektor kreatif digital, narasi adalah diferensiasi yang tak bisa ditiru mesin. Algoritma bisa membuat desain, tapi tidak bisa menciptakan makna. Narasi lokal adalah sumber daya tak tergantikan, jika dikelola secara cerdas.

Namun selama ini, kita terlalu sibuk mengekspor produk---lupa mengekspor cerita.

Padahal, dalam banyak kasus, cerita menjual lebih dari produknya. Orang Jepang membeli batik karena tahu kisahnya. Orang Eropa memamerkan tenun karena tahu sejarahnya. Dan anak muda di kota besar membeli jaket songket karena "ada kisah adat di balik motifnya."

Yang dibeli bukan hanya benda---tetapi identitas dan koneksi emosional.

Studi Kasus: Songket Pandai Sikek dan Potensi Cerita Digital

Mari kita bayangkan sebuah kampanye digital cerdas:

  • Instagram Story yang menampilkan tiap motif songket, disertai penjelasan filosofinya dalam format carousel visual.
  • YouTube mini-docuseries berjudul "Dari Benang ke Makna" yang menyorot kehidupan penenun, filosofi warna, dan dinamika regenerasi budaya.
  • Podcast narasi dengan gaya dongeng---tentang mengapa anak muda Pandai Sikek dulu belajar menenun sebelum belajar membaca.
  • Platform NFT budaya untuk motif-motif langka, dengan sistem royalti ke komunitas Pandai Sikek.
  • Animasi pendek atau Webtoon tentang kehidupan sehari-hari dalam budaya Minangkabau, dengan songket sebagai benang merah visual.

Semua ini bukan fiksi---melainkan bentuk konkret dari bagaimana cerita rakyat bisa menjadi konten digital bernilai ekonomi dan kultural.

Tapi Apa Risikonya?

Tentu ada pertanyaan kritis:
Apakah ini pelestarian atau justru komersialisasi yang membingkai budaya dalam algoritma?

Ini pertanyaan penting. Karena digitalisasi bisa mempermudah penyebaran cerita, tapi juga bisa menghapus konteks dan mengubah makna.
Misalnya, jika motif sakral digunakan dalam iklan makanan ringan, tanpa izin dan tanpa narasi yang benar, maka yang terjadi bukan promosi budaya---melainkan reduksi budaya.

Solusi: Tiga Pilar Etika Digitalisasi Budaya

Agar narasi lokal seperti yang terkandung dalam songket bisa masuk ke ekosistem konten digital secara sehat, ada tiga syarat penting:

1. Lisensi Budaya & Narasi Terverifikasi

Komunitas adat harus punya suara dan kuasa untuk menentukan cerita mana yang boleh diangkat, bagaimana cara mengemasnya, dan siapa yang berhak menyebarkannya.

2. Kolaborasi Multi-Pihak

Produksi konten harus melibatkan jurnalis, kreator digital, antropolog, dan tentu saja---komunitas lokal sebagai narasumber utama. Bukan konten yang "tentang mereka", tetapi konten yang "dibuat bersama mereka."

3. Infrastruktur Digital di Daerah

Jangan hanya buat konten dari Jakarta. Bantu komunitas Pandai Sikek membangun studio kecil, pelatihan media sosial, dan koneksi Wi-Fi yang stabil. Narasi lokal paling kuat justru jika diceritakan oleh pelakunya sendiri.

Dari Kain ke Konten, dari Warisan ke Wawasan

Ketika cerita rakyat hanya hidup dari mulut ke mulut, ia bisa hilang. Tapi ketika narasi lokal dikemas cerdas dalam konten digital yang bermakna, ia bisa melanglang dunia---menyentuh audiens global tanpa kehilangan akarnya.

Songket Pandai Sikek adalah contoh sempurna. Bukan hanya sebagai produk, tapi sebagai sumber cerita yang kuat, unik, dan kaya nilai. Tinggal bagaimana kita memilih: menjadikannya pajangan di etalase oleh-oleh, atau menyulapnya menjadi kisah lintas layar dan lintas zaman.

Karena dunia tidak kekurangan konten. Yang dicari adalah konten yang punya jiwa. Dan songket kita, punya itu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun