Masa Depan Tradisi: Apakah Generasi Muda Masih Peduli Produk Budaya?
Studi Kasus Songket Pandai Sikek
Suatu sore di Nagari Pandai Sikek, saya duduk bersama sekelompok ibu penenun yang sedang mengerjakan songket secara perlahan dan penuh kehati-hatian. Di sela percakapan, seorang di antaranya berkata, "Kami ini masih bisa menenun. Tapi yang muda-muda, entah mau teruskan atau tidak. Dan kalau orang luar yang belajar, takut kami nanti hilang jati diri."
Kalimat itu mencerminkan paradoks yang rumit, namun nyata: masyarakat adat ingin tradisi tetap hidup, tetapi takut ketika tradisi mulai keluar dari lingkaran mereka.
Warisan yang Terjepit Zaman
Songket Pandai Sikek adalah salah satu mahakarya tekstil tradisional Indonesia. Motif, teknik, dan filosofi yang membentuk kain ini adalah hasil dari proses budaya berabad-abad lamanya. Namun, sebagaimana banyak warisan budaya lain, songket menghadapi tantangan zaman.
Generasi muda hari ini lebih dekat dengan gawai daripada alat tenun. Budaya digital lebih dominan dibanding budaya material. Dan realitas ekonomi membuat profesi penenun tidak lagi terlihat menjanjikan. Akibatnya, banyak anak muda dari Pandai Sikek yang memilih jalan lain---pendidikan tinggi, pekerjaan kota, atau wirausaha modern.
Pertanyaannya: apakah kita akan kehilangan satu lagi bagian dari identitas kita hanya karena tak mampu mengelola transisi antar generasi?
Paradoks: Menjaga Warisan vs Merawat Masa Depan
Inilah titik kritis yang sedang dialami banyak komunitas tradisional, termasuk Pandai Sikek. Mereka dihadapkan pada dua kenyataan:
- Regenerasi Wajib Ada. Tanpa generasi baru yang mau belajar dan melanjutkan, keterampilan menenun yang rumit dan khas ini akan hilang perlahan.
- Namun Ada Kekhawatiran. Banyak masyarakat lokal resah jika keterampilan songket "keluar" dari lingkaran masyarakat adat. Ada ketakutan bahwa ketika orang luar mulai menguasai teknik ini, maka nilai-nilai kultural akan terkikis, motif akan disalahgunakan, dan warisan akan kehilangan identitas lokalnya.
Ini adalah paradoks pewarisan budaya:
- Harus diteruskan, tapi takut jika tak dikendalikan.
Kita harus bertanya: bagaimana mungkin mempertahankan warisan hidup, jika ia hanya boleh dijaga oleh segelintir orang dalam kondisi sosial dan ekonomi yang terus berubah?
Generasi Muda: Tidak Acuh, Tapi Tidak Diberi Ruang
Satu hal penting yang sering disalahpahami adalah anggapan bahwa generasi muda tidak peduli. Padahal, banyak dari mereka justru ingin terlibat, hanya saja tidak ingin terjebak dalam pola lama yang sempit dan tidak prospektif.
Mereka ingin menjadikan songket bagian dari identitas baru---entah sebagai elemen desain fashion kontemporer, produk ramah lingkungan, simbol perlawanan budaya terhadap arus global, atau sekadar bentuk ekspresi kreatif. Tetapi, ruang untuk eksplorasi itu masih sangat terbatas.
Solusi Cerdas untuk Menjembatani
Agar keterampilan tetap hidup dan diwariskan tanpa kehilangan akar identitasnya, kita perlu pendekatan baru yang fleksibel, terbuka, namun tetap berakar kuat. Berikut beberapa solusi konkret:
1. Model Pewarisan Terbuka Terkendali (Guarded Openness)
Alih-alih menutup rapat keterampilan menenun hanya untuk orang asli Pandai Sikek, masyarakat adat dapat membuat mekanisme lisensi budaya:
- Orang luar boleh belajar, tapi harus melalui proses yang diatur dan disahkan komunitas adat.
- Motif tertentu yang sakral atau simbolik tidak boleh direproduksi sembarangan.
- Ada kode etik budaya, seperti "geographical indication" dalam dunia kopi dan teh, yang memastikan asal-usul dihormati.
2. Creative Hub Lokal sebagai Ruang Kolaborasi
Buatlah pusat tenun modern yang tidak hanya sebagai ruang produksi, tetapi juga sebagai ruang pendidikan, kolaborasi, dan inovasi desain.
- Generasi muda lokal dan perancang luar bisa berkarya bersama di tempat yang dikurasi secara budaya.
- Di sinilah terjadi regenerasi tanpa pengkhianatan nilai.
3. Mentoring dan Sertifikasi Intergenerasi
Penenun senior menjadi mentor resmi bagi anak muda yang ingin belajar.
- Setiap orang yang menyelesaikan pelatihan diberikan sertifikasi tradisi yang dikeluarkan oleh komunitas adat dan lembaga budaya.
- Ini bukan hanya menjaga kualitas, tapi juga menjaga kehormatan warisan.
4. Pelibatan Diaspora Pandai Sikek
Anak-anak muda yang sudah keluar dari nagari untuk belajar atau bekerja bisa tetap dilibatkan dalam pelestarian, misalnya:
- Menjadi duta budaya digital,
- Menjual songket lewat marketplace,
- Membuat konten kreatif tentang filosofi songket.
Dengan begitu, keterlibatan tidak harus berarti "kembali ke desa", tapi bisa bermakna "membawa desa ke dunia".
5. Skema Insentif Ekonomi dan Branding Autentik
Pemerintah daerah dan lembaga swasta bisa menciptakan brand kolektif yang menjamin bahwa songket dibuat dengan teknik asli dan bermakna budaya.
- Produk seperti ini bisa dijual dengan nilai premium,
- Sambil memberi royalti pada komunitas pembuatnya.
Tradisi: Milik Bersama, Tapi Akar Harus Diakui
Kita harus mulai memahami bahwa tradisi bukan monumen mati yang harus dibekukan. Ia adalah sistem hidup yang perlu dipelihara, ditafsir ulang, dan diwariskan secara cerdas. Menutup rapat warisan demi menjaga keaslian, justru bisa menjadi sebab kepunahannya.
Namun, membiarkannya bebas tanpa perlindungan juga bisa merusak makna dan akar identitasnya. Maka diperlukan kebijakan budaya yang bijak, partisipatif, dan visioner.
Jalan Tengah yang Mungkin
Masa depan songket Pandai Sikek tidak hanya terletak di tangan nenek-nenek penenun yang tersisa. Ia juga terletak di tangan anak muda---baik yang tinggal di nagari maupun yang jauh di kota besar---yang merasa bangga menjadi bagian dari cerita ini.
Tradisi bukan tentang menolak zaman. Tapi tentang membawa nilai lama dengan cara baru.
Kita bisa membuka jalan bagi generasi muda untuk peduli---asal kita juga bersedia memberi mereka ruang yang adil dan aman untuk ikut merawat dan mengembangkan warisan bersama.
Jadi, saatnya membangun "jembatan" itu.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI