Kain, Inovasi, dan Ketakutan yang (Tidak) Perlu
Di tengah hiruk pikuk pameran desain di Jakarta beberapa waktu lalu, selembar songket Pandai Sikek mencuri perhatian. Tapi bukan karena keindahan motifnya yang sudah sejak lama melegenda, melainkan karena potongan modern yang tak biasa: sebuah jaket bomber dengan benang emas yang menyiratkan sejarah. Seorang pengunjung bergumam, "Indah, tapi apa ini masih songket atau hanya inspirasi dari songket?"
Pertanyaan itu menggambarkan keresahan yang sering muncul ketika tradisi bertemu dengan inovasi. Apakah kita sedang melestarikan atau justru memperdangkal nilai budaya? Di tengah arus disrupsi digital dan ekonomi kreatif yang menuntut segala sesuatu tampil "baru" dan "segar", warisan budaya seperti songket Pandai Sikek rawan tergelincir menjadi sekadar elemen dekoratif --- kehilangan makna, tercerabut dari akar sosialnya.
Namun, apakah inovasi memang selalu identik dengan pengikisan nilai?
Tradisi dalam Cengkeraman Ekonomi Kreatif
Songket Pandai Sikek bukan sembarang kain. Ia adalah hasil dari pengetahuan turun-temurun, penuh makna simbolik, dan bagian integral dari identitas Minangkabau. Dalam sejarahnya, kain ini hanya ditenun oleh tangan perempuan terlatih, dalam proses yang bisa memakan waktu berminggu-minggu. Motifnya bukan sembarangan: setiap bentuk memiliki filosofi --- dari kesuburan hingga kearifan hidup.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, songket ini mulai hadir dalam bentuk tas, sepatu, bahkan aksesori gadget. Permintaan meningkat, tetapi tidak semua pengrajin terlibat dalam proses inovasi ini. Banyak pihak luar yang menggunakan motif songket untuk produk massal, sering kali tanpa izin atau pemahaman terhadap nilai budaya di baliknya. Di sinilah etika apropriasi budaya menjadi perdebatan.
Dalam kajian ekonomi industri, kita mengenal istilah "value chain reconfiguration", di mana inovasi dapat mengubah rantai nilai tradisional menjadi lebih inklusif atau malah eksploitatif. Apakah para pengrajin memperoleh nilai tambah dari transformasi ini? Ataukah mereka hanya menjadi latar belakang dari kisah sukses komersial orang lain?
Kurasi Budaya: Bukan Sekadar Estetika
Di sinilah peran kurasi budaya menjadi krusial. Inovasi yang sehat tidak hanya mengambil bentuk fisik dari budaya, tetapi juga merawat nilai dan konteksnya. Di Sumatera Barat, muncul inisiatif kolaboratif antara seniman muda urban dan pengrajin Pandai Sikek yang berbasis pada prinsip co-creation. Dalam model ini, pengrajin tidak hanya sebagai produsen, tetapi juga sebagai narator budaya.
Kolaborasi seperti ini menghadirkan dua hal penting: keberlanjutan ekonomi dan legitimasi budaya. Produk-produk hasil kurasi tersebut tidak hanya menarik secara pasar, tetapi juga memiliki cultural depth yang membuatnya tidak kehilangan akar.
Etika Inovasi: Menghindari Komodifikasi Semu
Dalam konteks ini, penting untuk membedakan antara inovasi yang menghormati dan komodifikasi yang memanfaatkan. Inovasi yang etis selalu melibatkan dialog lintas generasi dan lintas disiplin. Ia tidak sekadar mengubah bentuk, tetapi juga mengadaptasi nilai untuk konteks baru. Dalam ekonomi industri, pendekatan ini sejalan dengan prinsip shared value, di mana keuntungan ekonomi tidak mengorbankan keberlanjutan sosial dan budaya.
Kritik terhadap inovasi sering kali datang dari ketakutan akan hilangnya keaslian. Namun, sejarah budaya justru menunjukkan bahwa tradisi yang hidup adalah tradisi yang mampu beradaptasi. Kain batik, misalnya, telah melewati banyak fase inovasi --- dari pewarna alami hingga digital printing --- tanpa kehilangan identitasnya, selama proses itu dilakukan dengan tanggung jawab budaya.
Solusi Bukan di Larangan, Tapi di Kolaborasi
Maka, solusinya bukan melarang inovasi, tetapi mengarahkan inovasi pada kolaborasi yang adil dan sadar konteks. Pemerintah daerah, lembaga kebudayaan, hingga platform digital bisa memainkan peran sebagai fasilitator dan pengawas. Sertifikasi asal-usul, pelatihan kurator budaya muda, dan sistem royalti adalah beberapa langkah konkret yang bisa diambil.
Lebih jauh lagi, pendidikan budaya sejak dini penting untuk membentuk generasi kreatif yang tidak hanya 'kreatif' dalam mencipta, tetapi juga sensitif dalam menghormati.
Ajakan untuk Tidak Cepat Menghakimi
Sebagai akademisi yang telah puluhan tahun meneliti dinamika industri kreatif dan kearifan lokal, saya melihat bahwa tantangan utama kita bukan pada invasi modernitas, tetapi pada cara kita meresponsnya. Kita tidak bisa menolak arus disrupsi, tetapi kita bisa memilih untuk mengemudikannya ke arah yang tidak merusak akar budaya.
Songket Pandai Sikek, dalam bentuk jaket atau kain tradisional, tetaplah warisan yang berharga. Yang menentukan nilainya bukan bentuk akhirnya, tetapi cara kita memperlakukannya dalam proses inovasi.
Dan di situlah, tradisi tidak mati --- ia justru menemukan kehidupan baru.
Jadi, apakah distrupsi perlu ditakuti?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI