Di laci yang berdebu, aku berdiam,
Tapi KTP-ku---berkeliling kota.
Dipinjam untuk pinjaman misterius,
Ikut serta dalam pemilu yang tak kuhadiri.
Saat aku duduk melamun di warung kopi,
KTP-ku sibuk tanda tangan proyek fiktif.
Namaku tercetak rapi di slip pungli,
Padahal aku bahkan tak bisa cicil kopi.
KTP-ku masuk daftar hadir rapat,
di balai desa yang tak pernah kudengar.
Ia tersenyum di CCTV e-KTP,
sementara aku hanya menghela napas di KRL penuh.
Pernah suatu hari aku coba bertanya:
"Wahai kartu sakti, kau lebih sukses dariku, ya?"
Ia diam, tapi kurasa tertawa.
Mungkin ia malu, atau sedang rapat anggaran negara.
Ketika aku gagal dapat kerja karena "tidak pengalaman",
KTP-ku justru pegawai tetap di banyak instansi.
Namaku dicatut di mana-mana,
tapi dompetku tetap mengenaskan adanya.
Oh, KTP-ku yang terhormat,
kau punya lebih banyak jabatan daripada LinkedIn-ku.
Kau bekerja di balik meja kekuasaan,
sementara aku... membuka lowongan untuk hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI