Ibunya yang agak ubanan itu masih menangis meskipun Yusuf sudah pulang ke rumah.
Lima belas hari sebelumnya, ada penggalan-penggalan kalimat yang terdengar dari balik teleponnya, “Sudah lama kamu tidak pulang, Nak.” Suara ibunya mungkin ditahan bening yang misterius. Atau malah ditunda waktu. “Ibu minta maaf kalau kamu merasa tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan ibu saat itu.”
Yusuf hanya bungkam. Menahan emosi di dalam dadanya yang berkecamuk, semacam pasien puskesmas yang membenci loket penyerahan berkas dekat bangku tunggu.
Sudah berbulan-bulan Yusuf dan ibunya tidak saling berhubungan. Tapi waktu itu ibunya menelepon lebih dulu, lima belas hari sebelum lebaran. Tepat sehabis salat tarawih. Dengan suara menohok yang lirih. Memintanya pulang. Karena sudah dua kali lebaran Yusuf tidak melakukan perjalanan mudik dengan dalih pekerjaan yang menumpuk. Padahal dia tidak pernah benar-benar sibuk.
“Sebegitu marahnya kah kamu sama ibu, Nak?” Yusuf masih belum menjawab. “Suf?” sambung ibunya.
“Iya, Bu. Nanti Yusuf usahakan untuk pulang.”
“Kamu janji?”
“Yusuf tidak bisa berjanji.”
“Tapi ibu kangen sama kamu. Kamu tidak kangen ibu?” Suara ibunya berserak. Yusuf tahu ibunya akan menangis.
"Yusuf masih ada kerjaan, Bu."
"Ini kan sudah malam, Nak. Ibu sengaja menelepon kamu malam hari begini karena ibu tahu siangnya kamu sibuk."