Saat itulah saya sadar, ada pergeseran makna dari kata "gratis". Dulu, ia bermakna pembebasan dari hambatan finansial. Sekarang, ia berubah menjadi pembebasan dari tanggung jawab.
Gagasan Kemitraan: Sebuah Jalan Tengah
Di sinilah saya merasa pandangan Pak JC Tukiman layak dipertimbangkan. Ia mengusulkan agar idiom “sekolah gratis” diganti dengan ungkapan yang lebih merefleksikan kolaborasi, seperti “kemitraan pendidikan”. Menurut beliau, istilah ini mengandung makna ganda: menunjukkan komitmen negara, sekaligus mengajak masyarakat ikut bertanggung jawab dalam pembangunan manusia.
Sebagai guru, saya menyambut baik gagasan ini. Saya bahkan membayangkan jika istilah kemitraan ini mulai dipopulerkan dalam buku rapor, papan pengumuman sekolah, hingga brosur PPDB.
Bayangkan betapa kuat pesannya jika sekolah menulis:
“Kami bukan sekadar sekolah gratis. Kami mitra Anda dalam mencerdaskan generasi bangsa.”
Namun, Hati-hati Juga dengan Istilah Baru
Meski saya setuju dengan semangat perubahan istilah, saya juga merasa perlu mengingatkan: mengganti kata bukan berarti menyulap realitas. Kata “kemitraan” bisa menjadi jargon indah, namun kosong makna jika tidak dibarengi kebijakan dan pendekatan yang mendukung.
Jangan sampai “kemitraan” menjadi topeng baru untuk mengalihkan tanggung jawab negara kepada masyarakat, apalagi di daerah-daerah miskin yang orang tuanya bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan pokok harian.
Kemitraan sejati lahir dari keterbukaan, transparansi, dan saling percaya. Dalam konteks sekolah, artinya:
Orang tua merasa dihargai pendapatnya dalam forum komite sekolah.