Pagi ini, saya membaca opini menarik dari JC Tukiman Taruna di harian Kompas (4 Juni 2025) berjudul “Idiomatis Sekolah Gratis”. Sebagai seorang guru di sekolah negeri pinggiran, saya terhenyak, sekaligus merenung panjang.
Beliau menyoroti bagaimana idiom "sekolah gratis" perlahan membentuk mentalitas masyarakat yang kian pasif terhadap pendidikan anak. Kalimat yang paling menggelitik bagi saya adalah: "Gerusan mentalitas masyarakat yang mengarah pada sikap tidak perlu pusing-pusing memikirkan pendidikan anak karena ternina-bobokan oleh idiom gratis mengancam dan sudah berada di depan mata kita."
Kalimat ini tak hanya tepat, tapi juga menampar realitas yang selama ini kami temui di lapangan.
Sekolah Gratis: Antara Hak dan Peran
Saya tidak ingin berpolemik soal konsep sekolah gratis. Bahwa pendidikan dasar adalah hak setiap warga negara dan menjadi tanggung jawab negara—itu sudah final. Kita patut bersyukur bahwa berbagai program seperti BOS, PIP, dan kebijakan pembebasan SPP telah membuka pintu akses pendidikan bagi jutaan anak bangsa.
Namun, di balik kemajuan itu, saya tidak bisa menutup mata terhadap efek samping yang diam-diam muncul: lunturnya rasa tanggung jawab sebagian orang tua terhadap proses pendidikan anak mereka.
Ada orang tua yang marah karena diminta membawa alat tulis tambahan. Ada yang mencemooh sekolah karena mengadakan gotong royong bersih kelas. Ada pula yang menganggap rapat komite hanya buang waktu, karena toh "semuanya gratis".
Gratis yang Disalahpahami
Dalam banyak kasus, saya melihat bahwa kata "gratis" sering disalahpahami sebagai "serba ditanggung", bahkan sampai urusan karakter dan disiplin anak pun dianggap tanggung jawab sekolah semata.
Saya jadi teringat satu kasus: Seorang siswa berkali-kali bolos, dan ketika dipanggil orang tuanya, si ibu justru berkata, “Itu kan urusan sekolah, Bu Guru. Kami udah sekolahkan, tinggal sekolah yang mendidik.”