Pagi ini, Jumat 30 Mei 2025, saya memulai hari seperti biasa: menyeduh kopi, membuka jendela ruang tamu, lalu membaca harian Kompas yang datang lebih awal dari biasanya. Di halaman utama, saya tertumbuk pada satu judul besar: “Penerapan Pendidikan Gratis Masih Gamang.” Hati saya langsung terusik.
Sudah belasan tahun saya mengajar di sebuah SMK negeri yang tidak besar. Jumlah siswanya tidak seberapa, lokasinya pun bukan di kota besar. Tapi di ruang-ruang kelas sederhana itu, saya melihat mimpi anak-anak tentang masa depan—tentang bekerja di bengkel sendiri, tentang menjadi teknisi komputer, atau sekadar ingin punya ijazah agar bisa melamar kerja.
Ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendidikan dasar di sekolah negeri dan swasta harus gratis, tentu kami menyambutnya dengan semangat. Tapi sebagai orang yang berada di lapangan, saya juga tahu: masalahnya tidak sesederhana itu.
Anggaran Besar, Tapi Untuk Siapa?
Kompas menulis, anggaran pendidikan tahun ini mencapai Rp 724,2 triliun—angka yang sangat besar. Tapi begitu dibedah, yang langsung ditangani oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah hanya Rp 33,7 triliun atau sekitar 4,6%. Bahkan setelah pemangkasan, tersisa Rp 25,5 triliun.
Sebaliknya, dana sebesar Rp 105 triliun justru tersebar ke kementerian dan lembaga lain yang bukan inti penyelenggara pendidikan. Di sinilah letak paradoksnya: angka besar hanya enak dibaca, tapi tidak terasa di sekolah.
Di tempat saya mengajar, misalnya, tidak ada tambahan anggaran setelah putusan MK itu keluar. Tidak ada petunjuk teknis baru, tidak ada penambahan dana BOS, dan belum ada sinyal bantuan khusus untuk mendukung kebijakan pendidikan gratis.
Rekan Guru Honorer Masih Berjuang
Saya punya rekan yang sudah 6 tahun mengajar sebagai guru honorer. Gajinya saat ini Rp 2,4 juta per bulan. Memang sudah lebih manusiawi dibanding beberapa tahun lalu, tapi tetap belum cukup untuk hidup layak, apalagi kalau harus membiayai anak sekolah dan membayar kontrakan.
Ia tetap semangat mengajar, datang pagi, mengurus praktik siswa, bahkan kadang ikut bersih-bersih bengkel. Tapi sampai sekarang, belum juga diangkat jadi ASN, dan setiap kali bicara soal masa depan, suaranya selalu pelan. “Saya jalani saja dulu, Pak,” katanya kemarin saat kami makan siang di ruang guru.
Saya sering bertanya dalam hati: di mana letak keberpihakan anggaran itu? Karena jika guru honorer masih dibayar pas-pasan, dan sekolah kecil masih kekurangan sarana, lalu siapa yang sebenarnya menikmati anggaran ratusan triliun itu?
Sekolah-Sekolah Kecil Masih Berhemat
Dengan jumlah siswa yang tidak banyak, sekolah kami harus mengatur BOS dengan sangat ketat. Beli alat praktik? Ditunda dulu. Perbaiki kabel listrik? Tunggu semester depan. Kadang kami patungan kalau ada siswa tak bisa ikut ujian karena belum bayar iuran tambahan.
Putusan MK membuat kami bertanya-tanya: apakah iuran siswa harus dihapus sepenuhnya? Lalu, bagaimana dengan biaya operasional yang selama ini kami topang bersama?
Guru bukan tidak ingin mendukung pendidikan gratis. Tapi kami juga butuh jaminan bahwa sekolah punya cukup dana untuk operasional, untuk alat praktik, untuk kegiatan belajar yang bermutu. Jangan sampai “gratis” hanya jadi slogan, sementara mutu pendidikan justru makin luntur.
Saatnya Fokus dan Transparan
Menurut saya, saat ini bukan waktunya menambah anggaran, tapi menata ulang alokasi dan distribusinya. Fokuskan anggaran ke kementerian yang langsung menangani pendidikan: Kemendikbud, Kemenag, dan Kemendikti. Mereka yang tahu bagaimana kondisi guru, siswa, dan sekolah. Mereka pula yang bisa langsung menyalurkan dana ke ruang kelas, bukan hanya ke ruang rapat.
Dan yang lebih penting: transparansi. Kami ingin tahu ke mana larinya anggaran pendidikan yang besar itu. Mana yang dipakai untuk sekolah, mana yang untuk pelatihan, mana yang habis di birokrasi. Tanpa keterbukaan, anggaran pendidikan akan terus jadi fatamorgana—terlihat besar, tapi tak pernah bisa kami rasakan.
Dari Sekolah Pinggiran, Kami Berharap
Saya menulis ini bukan untuk mengeluh, tapi untuk mengingatkan bahwa pendidikan tidak bisa dibangun hanya dengan janji dan angka. Kami di sekolah kecil ini masih percaya pada masa depan. Tapi kepercayaan itu mulai terkikis ketika kebijakan besar tidak disertai kesiapan di lapangan.
Putusan MK ini seharusnya jadi momentum untuk membenahi cara kita mengelola pendidikan. Kalau pemerintah berani menyederhanakan jalur anggaran, memperkuat peran sekolah, dan mendengar suara guru, saya yakin kita bisa benar-benar menghadirkan pendidikan gratis yang layak dan bermutu.
Tapi kalau sistem anggarannya masih seperti sekarang—tersebar, tumpang tindih, dan birokratis—maka kita hanya mengulang lingkaran setan: janji besar, eksekusi kecil, dan siswa tetap menanggung beban.
Untuk Anak-Anak Kami
Akhirnya, saya ingin mengingatkan satu hal: anak-anak yang duduk di bangku sekolah hari ini adalah masa depan Indonesia. Kalau kita gagal menyediakan pendidikan gratis yang bermutu, maka kita bukan hanya mengecewakan mereka—kita sedang menggali lubang untuk bangsa ini sendiri.
Jangan biarkan kebijakan baik ini kandas karena tata kelola yang lemah. Kami para guru siap mendidik, asal diberi alat dan kepercayaan. Jangan biarkan kami berjalan sendiri di medan yang penuh tantangan, sementara di atas sana angka-angka besar hanya berputar di meja rapat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI