Saya sering bertanya dalam hati: di mana letak keberpihakan anggaran itu? Karena jika guru honorer masih dibayar pas-pasan, dan sekolah kecil masih kekurangan sarana, lalu siapa yang sebenarnya menikmati anggaran ratusan triliun itu?
Sekolah-Sekolah Kecil Masih Berhemat
Dengan jumlah siswa yang tidak banyak, sekolah kami harus mengatur BOS dengan sangat ketat. Beli alat praktik? Ditunda dulu. Perbaiki kabel listrik? Tunggu semester depan. Kadang kami patungan kalau ada siswa tak bisa ikut ujian karena belum bayar iuran tambahan.
Putusan MK membuat kami bertanya-tanya: apakah iuran siswa harus dihapus sepenuhnya? Lalu, bagaimana dengan biaya operasional yang selama ini kami topang bersama?
Guru bukan tidak ingin mendukung pendidikan gratis. Tapi kami juga butuh jaminan bahwa sekolah punya cukup dana untuk operasional, untuk alat praktik, untuk kegiatan belajar yang bermutu. Jangan sampai “gratis” hanya jadi slogan, sementara mutu pendidikan justru makin luntur.
Saatnya Fokus dan Transparan
Menurut saya, saat ini bukan waktunya menambah anggaran, tapi menata ulang alokasi dan distribusinya. Fokuskan anggaran ke kementerian yang langsung menangani pendidikan: Kemendikbud, Kemenag, dan Kemendikti. Mereka yang tahu bagaimana kondisi guru, siswa, dan sekolah. Mereka pula yang bisa langsung menyalurkan dana ke ruang kelas, bukan hanya ke ruang rapat.
Dan yang lebih penting: transparansi. Kami ingin tahu ke mana larinya anggaran pendidikan yang besar itu. Mana yang dipakai untuk sekolah, mana yang untuk pelatihan, mana yang habis di birokrasi. Tanpa keterbukaan, anggaran pendidikan akan terus jadi fatamorgana—terlihat besar, tapi tak pernah bisa kami rasakan.
Dari Sekolah Pinggiran, Kami Berharap
Saya menulis ini bukan untuk mengeluh, tapi untuk mengingatkan bahwa pendidikan tidak bisa dibangun hanya dengan janji dan angka. Kami di sekolah kecil ini masih percaya pada masa depan. Tapi kepercayaan itu mulai terkikis ketika kebijakan besar tidak disertai kesiapan di lapangan.
Putusan MK ini seharusnya jadi momentum untuk membenahi cara kita mengelola pendidikan. Kalau pemerintah berani menyederhanakan jalur anggaran, memperkuat peran sekolah, dan mendengar suara guru, saya yakin kita bisa benar-benar menghadirkan pendidikan gratis yang layak dan bermutu.