Hari-hari berikutnya, aku mulai menyadari perubahan halus pada Naya. Ia tak lagi membiarkan pintunya tertutup rapat setiap waktu. Kadang, aku menemukannya sudah menunggu di ambang pintu dengan secangkir teh hangat di tangannya, seolah-olah kehadiranku bukan lagi sesuatu yang asing. Percakapan kami pun semakin dalam---bukan sekadar basa-basi tentang cuaca atau rutinitas harian, tetapi tentang masa lalunya, tentang luka-luka yang selama ini ia sembunyikan di balik sikap diamnya.
Dari kisah yang ia bagi, aku memahami bahwa Naya bukan sekadar seseorang yang terjebak dalam kesepian. Ia adalah perempuan yang pernah mencintai dengan segenap jiwanya, hanya untuk kehilangan semuanya dalam sekejap. Rasa takut membuatnya membangun dinding tinggi, mengasingkan dirinya dari kemungkinan baru. Namun, sedikit demi sedikit, dinding itu mulai retak. Perlahan, ia mulai memahami bahwa kesepian bukanlah takdir yang tak bisa diubah, bahwa masih ada ruang di hatinya untuk sesuatu yang baru---entah itu harapan, keberanian, atau mungkin, cinta yang lain.
---
Suatu pagi, saat aku tiba di rumahnya, Naya sudah menungguku di teras. Ia tersenyum lebar, sesuatu yang jarang aku lihat belakangan ini.
"Aku punya sesuatu untukmu," katanya, menyerahkan selembar kertas.
Aku membacanya---sebuah puisi pendek tentang harapan dan kebangkitan kembali. Kata-katanya sederhana, tapi sarat makna. Aku bisa melihat perjuangan yang ia jalani selama ini terukir di setiap baitnya.
Bangkit dari Sepi
Dalam sunyi aku berjalan,
menghitung jejak yang hilang di senja,
angin berbisik tentang masa lalu,