"Aku pikir aku sudah melupakannya," bisiknya, suaranya parau. "Tapi ternyata tidak. Setiap kali aku merasa bisa melangkah maju, ingatan itu kembali menghantuiku."
Aku menatapnya. Selama ini, ia seperti menara yang tak bisa ditembus---teguh, tenang, seolah tak tersentuh. Namun kini, di hadapanku, ia rapuh, tak lagi menyembunyikan luka yang selama ini ia pendam sendirian.
---
"Kenapa kau tidak pernah menceritakan ini sebelumnya?" tanyaku, mencoba menahan emosi yang menggelegak dalam diriku.
"Karena aku takut," jawabnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku takut jika aku membicarakannya, itu akan membuatnya lebih nyata. Aku takut orang lain akan melihatku sebagai seseorang yang lemah, yang tidak bisa move on."
Aku menghela napas. "Kau tidak perlu menghadapi ini sendirian. Aku di sini, Naya."
Ia menatapku, matanya berkaca-kaca. "Aku tahu. Tapi kadang, aku merasa tidak pantas mendapatkan perhatianmu. Aku merasa seperti beban."
Aku meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Kau bukan beban. Kau temanku. Dan teman ada untuk saling membantu, bukan?"
Senyumnya kecil, tapi kali ini lebih tulus. "Terima kasih. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana."
"Mulailah dari sini. Dari sekarang. Kita bisa melewati ini bersama."
---