Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Berbalut Sepi

22 Februari 2025   18:51 Diperbarui: 22 Februari 2025   18:51 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto  : Meta AI 

Aku selalu datang setiap pagi. Mengetuk pintunya dengan ketukan yang sama, seperti seorang musafir yang berharap disambut dengan secangkir teh hangat setelah perjalanan panjang. Namun, ia jarang sekali membukanya lebih dari celah sempit, seakan membatasi dunia luar agar tidak terlalu jauh menyelinap ke dalam.

Namanya Naya. Perempuan dengan mata yang berkilat, yang ketika terkena cahaya pagi, memantulkan spektrum warna seperti pelangi. Namun, seberapa indah pun matanya, selalu ada jejak kelelahan di sana. Bibirnya kerap melengkung dalam tawa, tapi aku tahu, di sela-sela canda itu tersimpan sesuatu yang tidak terucapkan. Sesuatu yang berat.

Aku mengenalnya sejak lama. Sejak ia masih sering bercerita tanpa jeda, sebelum akhirnya diam menjadi kebiasaannya. Dulu, langkahnya ringan, penuh semangat. Kini, ada beban yang mengendap di setiap jejak yang ia tinggalkan di jalanan kecil menuju rumahnya. Aku pernah mencoba menanyakannya, tetapi ia hanya tersenyum dan menjawab, "Hidup punya caranya sendiri untuk membuat kita belajar, kan?"

Namun kali ini, aku tidak ingin lagi hanya menerima senyum dan jawaban samar itu.

---

Suatu pagi, aku membawa dua cangkir kopi hitam, seperti biasa. Ketukan kuberikan, tapi pintu tidak kunjung terbuka. Aku menunggu, lalu mengetuk lagi. Tidak ada jawaban. Jantungku berdebar. Aku mencoba mendorong pintu perlahan, dan ternyata tidak terkunci.

"Naya?" panggilku pelan saat melangkah masuk.

Rumahnya sunyi, tapi kali ini sunyi itu terasa lebih berat. Di sudut ruangan, aku menemukannya duduk memeluk lutut, wajahnya basah oleh air mata. Mataku langsung tertarik pada selembar kertas yang tergeletak di lantai---sebuah surat yang tampaknya baru saja dibaca.

Aku berjongkok di sampingnya. "Apa yang terjadi?"

Ia tidak langsung menjawab. Tangannya gemetar saat meraih surat itu dan memberikannya padaku. Aku membaca deretan kalimat yang tertera di sana, lalu diam. Surat itu dari seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya---seseorang yang pergi tanpa penjelasan, meninggalkan luka yang tak kunjung sembuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun