Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

TikTok Tidak Dibeli Amerika Serikat: Meluruskan Salah Paham Publik Indonesia

28 September 2025   12:48 Diperbarui: 28 September 2025   12:48 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi TikTok dibeli Amaerika Serikat. (Gambar dibuat dengan AI)

Beberapa hari terakhir, jagat media sosial di Indonesia diramaikan dengan kabar bahwa TikTok "dibeli" oleh Amerika Serikat setelah Presiden Donald Trump menandatangani dokumen resmi. Narasi ini cepat sekali menyebar, terutama melalui potongan berita, meme, dan obrolan daring. Banyak orang lalu menyimpulkan seolah-olah TikTok kini sudah bukan milik China, melainkan sepenuhnya dimiliki Amerika.

Kenyataannya tidak sesederhana itu. TikTok tidak pernah benar-benar dijual habis. Yang terjadi adalah sebuah kompromi politik, hukum, dan bisnis yang rumit, dengan tujuan menjaga agar TikTok tetap bisa beroperasi di pasar Amerika Serikat yang sangat besar. Untuk memahami duduk perkara ini, publik Indonesia perlu melihat konteks geopolitik, undang-undang Amerika, dan strategi dagang global ByteDance, perusahaan induk TikTok asal China.

Ancaman Larangan Total

Semuanya berawal dari undang-undang Amerika Serikat bernama Protecting Americans from Foreign Adversary Controlled Applications Act (PAFACA) yang disahkan tahun 2024. Undang-undang ini mengatur bahwa aplikasi yang dimiliki atau dikendalikan oleh "musuh asing" dapat dilarang total, kecuali jika dilakukan divestasi atau pelepasan kepemilikan yang signifikan. TikTok menjadi target utama karena induknya, ByteDance, berbasis di Beijing.

Pemerintah dan parlemen AS menuding TikTok berpotensi menjadi pintu masuk pengaruh politik China serta ancaman bagi keamanan data warga Amerika. Tuduhan itu tidak selalu disertai bukti publik yang kuat, tetapi dalam iklim politik Amerika, isu keamanan nasional sering kali lebih menentukan dibanding argumen teknis. Dengan ancaman larangan, TikTok dihadapkan pada pilihan sulit: keluar dari pasar AS atau menerima restrukturisasi.

Skema Divestasi, Bukan Jual Putus

Inilah yang kemudian dilabeli publik Indonesia secara keliru sebagai "pembelian TikTok oleh Amerika". Faktanya, yang ditandatangani Donald Trump hanyalah perintah eksekutif yang menyatakan bahwa skema divestasi TikTok AS memenuhi syarat keamanan nasional.

Skemanya adalah sebagai berikut: sebuah konsorsium investor Amerika, termasuk Oracle dan Silver Lake, mengambil alih kepemilikan mayoritas TikTok di wilayah AS. ByteDance masih memiliki saham minoritas, kurang dari 20 persen. Artinya, secara finansial ByteDance masih tetap ikut menikmati keuntungan, tetapi tidak lagi memiliki kendali operasional penuh atas TikTok di Amerika.

Lebih jauh, data pengguna Amerika akan disimpan di server dalam negeri, dan pengelolaan algoritma rekomendasi---jantung bisnis TikTok---akan berada di bawah yurisdiksi AS. Dengan cara ini, pemerintah bisa mengklaim bahwa kekhawatiran keamanan nasional sudah terjawab.

Mengapa ByteDance Mau?

Pertanyaan yang sering muncul: kenapa ByteDance mau menerima "penjualan paksa sebagian" ini? Ada beberapa alasan. Pertama, pasar Amerika terlalu besar untuk diabaikan. Dengan 170 juta pengguna aktif, larangan total akan memukul pendapatan iklan dan valuasi perusahaan. Kedua, dengan divestasi, ByteDance tetap mendapat bagian finansial, meski kecil. Ketiga, langkah ini memberi mereka ruang untuk menyelamatkan muka politik di dalam negeri. Pemerintah China bisa mengklaim bahwa ByteDance tidak menyerahkan TikTok sepenuhnya.

Konteks Global: AS vs China

Kesalahpahaman publik Indonesia juga muncul karena membandingkan TikTok dengan YouTube. "Mengapa Amerika takut TikTok, padahal YouTube milik Amerika tidak dilarang di China?" Begitu kira-kira logika yang sering muncul.

Masalahnya, asumsi itu keliru. YouTube justru sudah diblokir di China sejak 2009. Sama halnya dengan Facebook, Instagram, dan Twitter, semua diblokir oleh Great Firewall. China tidak memberi ruang bagi aplikasi asing untuk mengambil data rakyatnya. Sebagai gantinya, mereka membangun platform lokal seperti Youku, Bilibili, atau Douyin (versi domestik TikTok).

Sementara Amerika tidak bisa semudah itu melarang aplikasi asing karena konstitusinya menjamin kebebasan berekspresi. Menutup aplikasi begitu saja bisa dianggap melanggar hak sipil. Itulah sebabnya pemerintah AS mencari jalan tengah: memaksa divestasi agar kendali operasional tetap di dalam negeri. Dari sini kelihatan perbedaan filosofi: China memakai model kontrol penuh negara, Amerika memakai model pasar plus regulasi keamanan nasional.

Kenapa Publik Indonesia Bingung?

Ada tiga faktor utama. Pertama, berita global sering datang dalam potongan singkat dan dibaca tanpa konteks hukum. Judul seperti "Trump Resmi Tandatangani Pembelian TikTok" mudah disalahartikan seolah transaksi jual putus.

Kedua, masyarakat Indonesia terbiasa dengan logika "akuisisi penuh" dalam bisnis. Padahal dalam kasus ini, yang terjadi hanyalah perubahan struktur kepemilikan di satu negara.

Ketiga, ada kecenderungan melihat geopolitik sebagai pertarungan zero-sum. Jika AS masuk, berarti China keluar. Padahal realitasnya lebih abu-abu: China tetap punya saham, AS mengendalikan operasional, dan TikTok global masih milik ByteDance.

Pelajaran untuk Indonesia

Meluruskan salah paham ini penting bagi publik Indonesia. Pertama, agar kita tidak terjebak dalam narasi politik yang simplistis. Tidak semua "dibeli" berarti hilang sepenuhnya, dan tidak semua kompromi berarti menyerah total.

Kedua, kita bisa belajar bagaimana negara besar mengatur kedaulatan data. AS memakai pendekatan hukum, China memakai pendekatan kontrol. Indonesia masih mencari format: apakah membiarkan platform asing bebas, atau menuntut kepemilikan lokal sebagaimana yang dilakukan untuk bisnis e-commerce.

Ketiga, publik perlu lebih kritis membaca berita. Dalam dunia yang penuh dengan potongan informasi, salah tafsir bisa meluas dengan cepat.

***

Jadi, benarkah TikTok dibeli Amerika Serikat? Jawaban sederhananya: tidak. Yang terjadi hanyalah skema divestasi sebagian untuk operasi di Amerika. ByteDance masih memiliki saham, TikTok global tetap milik China, dan yang berubah hanya struktur kepemilikan lokal.

Kesalahpahaman publik Indonesia perlu diluruskan, bukan semata demi akurasi informasi, tetapi juga agar kita bisa belajar memahami dinamika geopolitik digital. Dunia tidak lagi sekadar pasar, ia adalah medan perebutan data, algoritma, dan pengaruh. Di situlah TikTok menjadi simbol perang dingin baru antara dua raksasa: Amerika Serikat dan China.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun