Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

TikTok Tidak Dibeli Amerika Serikat: Meluruskan Salah Paham Publik Indonesia

28 September 2025   12:48 Diperbarui: 28 September 2025   12:48 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi TikTok dibeli Amaerika Serikat. (Gambar dibuat dengan AI)

Sementara Amerika tidak bisa semudah itu melarang aplikasi asing karena konstitusinya menjamin kebebasan berekspresi. Menutup aplikasi begitu saja bisa dianggap melanggar hak sipil. Itulah sebabnya pemerintah AS mencari jalan tengah: memaksa divestasi agar kendali operasional tetap di dalam negeri. Dari sini kelihatan perbedaan filosofi: China memakai model kontrol penuh negara, Amerika memakai model pasar plus regulasi keamanan nasional.

Kenapa Publik Indonesia Bingung?

Ada tiga faktor utama. Pertama, berita global sering datang dalam potongan singkat dan dibaca tanpa konteks hukum. Judul seperti "Trump Resmi Tandatangani Pembelian TikTok" mudah disalahartikan seolah transaksi jual putus.

Kedua, masyarakat Indonesia terbiasa dengan logika "akuisisi penuh" dalam bisnis. Padahal dalam kasus ini, yang terjadi hanyalah perubahan struktur kepemilikan di satu negara.

Ketiga, ada kecenderungan melihat geopolitik sebagai pertarungan zero-sum. Jika AS masuk, berarti China keluar. Padahal realitasnya lebih abu-abu: China tetap punya saham, AS mengendalikan operasional, dan TikTok global masih milik ByteDance.

Pelajaran untuk Indonesia

Meluruskan salah paham ini penting bagi publik Indonesia. Pertama, agar kita tidak terjebak dalam narasi politik yang simplistis. Tidak semua "dibeli" berarti hilang sepenuhnya, dan tidak semua kompromi berarti menyerah total.

Kedua, kita bisa belajar bagaimana negara besar mengatur kedaulatan data. AS memakai pendekatan hukum, China memakai pendekatan kontrol. Indonesia masih mencari format: apakah membiarkan platform asing bebas, atau menuntut kepemilikan lokal sebagaimana yang dilakukan untuk bisnis e-commerce.

Ketiga, publik perlu lebih kritis membaca berita. Dalam dunia yang penuh dengan potongan informasi, salah tafsir bisa meluas dengan cepat.

***

Jadi, benarkah TikTok dibeli Amerika Serikat? Jawaban sederhananya: tidak. Yang terjadi hanyalah skema divestasi sebagian untuk operasi di Amerika. ByteDance masih memiliki saham, TikTok global tetap milik China, dan yang berubah hanya struktur kepemilikan lokal.

Kesalahpahaman publik Indonesia perlu diluruskan, bukan semata demi akurasi informasi, tetapi juga agar kita bisa belajar memahami dinamika geopolitik digital. Dunia tidak lagi sekadar pasar, ia adalah medan perebutan data, algoritma, dan pengaruh. Di situlah TikTok menjadi simbol perang dingin baru antara dua raksasa: Amerika Serikat dan China.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun