Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Krupuk Udamora: Sebungkus Camilan, Seikat Cerita

13 April 2025   21:40 Diperbarui: 14 April 2025   16:51 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Images generated by Dall-E)

Lebaran tahun ini, saya memutuskan untuk membawa oleh-oleh yang tak biasa. Bukan kue kaleng, bukan pula sirup warna-warni yang dari tahun ke tahun cuma pindah dari satu meja ke meja lain. Saya ingin oleh-oleh yang punya cerita, yang bisa saya buat sendiri, dan yang kalau dimakan, orang akan ingat siapa yang membawanya. Maka lahirlah: Krupuk Udamora.

Awalnya sederhana. Saya sedang belanja kebutuhan Ramadan ketika melihat tumpukan krupuk udang mentah dalam kemasan plastik besar. Harganya tertulis Rp182.000 per 5 kg. Saya berhenti sejenak, lalu ingat satu fakta kecil yang dulu pernah saya catat dalam kepala: kalau beli dalam kemasan kecil, harganya bisa jauh lebih mahal.

Saya cek. Benar saja. Di rak berbeda di toko yang sama, satu bungkus krupuk udang 500 gram dijual seharga Rp25.000. Artinya, kalau saya beli 10 bungkus, saya harus merogoh kocek Rp250.000. Padahal dengan membeli 5 kg dan membaginya sendiri, saya hanya butuh plastik, timbangan, dan sedikit waktu. Modal total? Tidak sampai Rp194.000, termasuk plastik dan cetak label sederhana yang saya desain dan print sendiri.

Saya suka matematika kecil seperti ini. Ada kepuasan tersendiri saat menyadari bahwa kita bisa menciptakan nilai tambah hanya dengan sedikit kreativitas. Tapi lebih dari sekadar hitung-hitungan, saya merasa ini adalah bentuk dari care—bukan sekadar memberi, tapi memberi dengan sentuhan pribadi. Saya membungkusnya satu per satu, menata labelnya, dan memilih nama yang saya suka: Udamora. Gabungan dari “udang” dan “amora”, sejenis bunga cinta. Lucu, bukan?

Tapi cerita tak berhenti di situ. Beberapa hari menjelang Lebaran, saya kembali ke toko itu. Kali ini, saya menemukan varian krupuk udang dengan kualitas lebih tinggi. Lebih tebal, warnanya lebih bening, dan tentu—lebih mahal. Harganya Rp212.000 per 5 kg. Harga ecerannya? Rp30.000 per 500 gram. Saya pun beli juga. Dan seperti sebelumnya, saya bungkus menjadi 10 bagian, bedanya kali ini labelnya saya beri sentuhan emas: Udamora Gold.

Saya tidak berniat menjualnya. Kedua varian krupuk ini murni untuk oleh-oleh keluarga. Ada 10 rumah saudara dan teman yang saya rencanakan untuk dikunjungi. Masing-masing akan mendapat dua bungkus, tergantung kedekatan dan siapa yang menempatinya: adik, kakak, paman, bibi, sampai teman karib.

Apa yang saya bawa memang hanya krupuk. Tapi saya percaya, niat dan cara menyampaikannya bisa mengubah makna sebuah benda. Krupuk itu bukan sekadar camilan, tapi bagian dari cerita saya. Bagian dari proses saya membeli, membagi, membungkus, dan memberi.

Beberapa dari mereka tampak heran saat saya menyerahkan bingkisan itu. “Wah, ini krupuk bikinan sendiri?” Saya jawab, “Bukan buatan sendiri, tapi dibungkus sendiri.” Lalu saya bercerita sedikit, dan mereka tertawa. Mungkin bukan karena ceritanya lucu, tapi karena terasa personal. Tak lagi ada jarak antara pemberi dan penerima.

Salah satu keponakan saya, yang baru saja masuk kuliah, bertanya dengan polos, “Om, ini bisa dijual enggak?” Saya senyum. Dalam hati saya berpikir, mungkin nanti. Tapi untuk saat ini, saya ingin krupuk ini tetap jadi kenang-kenangan Lebaran. Bukan komoditas.

Lebaran memang tentang maaf, peluk, dan temu. Tapi kadang, ia juga tentang hal-hal kecil yang bisa menjembatani hati: sepiring makanan, secangkir teh, atau sebungkus krupuk dengan nama aneh tapi bermakna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun