"Kau tahu, Fan, mungkin itulah esensi dari semua ini. Kesabaran, pengorbanan, dan pada akhirnya, kepuasan melihat hasil dari usaha kita," kata Bayu, matanya berbinar-binar.
Alfan menghela napas, merenung. "Mungkin aku hanya takut gagal, Yu. Takut tidak bisa sebaik mereka."
Bayu tersenyum, menepuk punggung Alfan. "Siapa yang tidak takut, Fan? Tapi takut bukan berarti kita lari dari itu. Kadang, kita harus menghadapi ketakutan itu untuk melihat apa yang sebenarnya bisa kita capai."
Mereka berdua duduk dalam diam, mendengarkan suara ombak dan melihat cahaya bulan yang memantul di permukaan air. Malam itu, Alfan merasa ada sesuatu yang bergeser dalam dirinya, sebuah pemahaman baru tentang apa arti sebuah pengorbanan dan penerimaan.
"Yu, terima kasih," kata Alfan akhirnya. "Mungkin aku memang harus mempertimbangkan ini lebih serius."
Bayu hanya tersenyum, "Waktu akan menunjukkan jalan, Fan."
Mereka berdua tertawa, menyadari bahwa malam itu mungkin menjadi titik balik dalam hidup Alfan, sebuah malam di mana dia mulai melihat dunia dengan mata yang sedikit berbeda.
***
Beberapa tahun telah berlalu sejak malam itu di pantai Balekambang. Alfan kini berdiri di tepi Danau Ranu Kumbolo, menatap refleksi awan yang bergulir lambat di permukaan air. Di sampingnya, berdiri Hafiz, anak lelakinya yang berusia lima tahun, dengan pancingan kecil di tangan.
"Papa, kapan ikan-ikan itu akan menggigit umpan?" tanya Hafiz dengan rasa ingin tahu yang besar.
Alfan tersenyum, "Sabar, Hafiz. Ikan-ikan itu sedang memikirkan apakah umpan kita cukup enak untuk mereka."