Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Menjadi Ayah adalah Anugerah

19 April 2024   06:35 Diperbarui: 19 April 2024   06:57 70 5
Alfan duduk di bangku taman, di kawasan jalan Ijen Kota Malang, menghirup udara sejuk di sore hari. Temannya, Bayu, duduk di sampingnya, sibuk dengan ponselnya.

"Kau serius, Fan? Berkeliling dunia, tanpa pikiran untuk punya anak?" tanya Bayu, setengah tidak percaya.

"Serius, Yu. Aku menikmati kebebasanku," jawab Alfan, sambil memandang langit yang mulai meredup. "Menjadi ayah itu... itu seperti mengikat diri dengan sejuta tanggung jawab yang tak pernah berakhir."

Bayu tertawa kecil. "Kau bicara seperti orang tua kita dulu. Ingat tidak, sore-sore di musim kemarau, kita sering ikut ayahmu memancing di Waduk Selorejo?"

Alfan mengangguk, senyum tipis terbentuk di bibirnya. "Ayah selalu bilang, memancing itu ibarat menunggu momen dalam hidup. Kadang harus sabar untuk mendapatkan yang terbaik."

"Dan kau ingat apa yang ayahmu selalu katakan tentang menjadi ayah?" tanya Bayu, mencoba menarik perhatian Alfan dari kenangan lalu.

Alfan mendesah. "Dia bilang itu anugerah terbaik dalam hidupnya. Tapi aku... Aku tak yakin aku bisa seperti dia."

Bayu menepuk bahu Alfan, "Waktu akan menjawabnya, Fan. Mungkin suatu hari nanti pandanganmu akan berubah."

Mereka berdua terdiam, menikmati keheningan yang hanya sesekali terpecah oleh suara anak-anak bermain di kejauhan. Malam mulai turun, dan lampu-lampu di taman mulai menyala, mengusir perlahan bayang-bayang senja.

"Bagaimana kalau kita lakukan perjalanan itu bersama, sebelum kau memutuskan untuk jadi ayah atau tidak?" usul Bayu, mencoba meringankan suasana.

"Boleh juga," sahut Alfan, tersenyum lebar. "Perjalanan terakhir sebelum aku... mungkin, menjadi ayah?"

"Siapa tahu," kata Bayu, sambil bangkit berdiri. "Mungkin kau akan menemukan jawabannya di sana."

Mereka meninggalkan taman, tertawa bersama, menyimpan berbagai pertanyaan tentang masa depan yang masih terbentang luas di depan mereka.

***

Malam itu, Alfan dan Bayu duduk di pinggir pantai Balekambang, menatap bulan purnama yang menggantung di langit. Suara ombak menghantam pantai melantunkan melodi yang menenangkan.

"Fan, kau pernah berpikir kenapa ayah kita-kita begitu bangga menjadi ayah?" tanya Bayu sambil memandangi bulan.

Alfan membuang pandang ke horison, "Mungkin karena mereka menemukan kebahagiaan yang tak kita mengerti saat ini."

Bayu mengangguk, "Ayahku sering bilang, anak-anak adalah seperti benih yang kita tanam. Kita lihat mereka tumbuh, berkembang, dan akhirnya berbuah."

"Benih, huh?" Alfan tersenyum sinis. "Aku lebih suka melihat mereka sebagai tanggung jawab yang mengikat."

"Tapi, Fan, kau sendiri sering cerita betapa ayahmu mengajari banyak hal, bahkan cara memancing yang sekarang ini sering kau banggakan," ujar Bayu, mencoba mencairkan suasana.

"Memang benar," akui Alfan. "Dan itu memang momen-momen indah. Ayah selalu sabar, bahkan saat aku hanya membuat kusut tali pancingnya."

"Kau tahu, Fan, mungkin itulah esensi dari semua ini. Kesabaran, pengorbanan, dan pada akhirnya, kepuasan melihat hasil dari usaha kita," kata Bayu, matanya berbinar-binar.

Alfan menghela napas, merenung. "Mungkin aku hanya takut gagal, Yu. Takut tidak bisa sebaik mereka."

Bayu tersenyum, menepuk punggung Alfan. "Siapa yang tidak takut, Fan? Tapi takut bukan berarti kita lari dari itu. Kadang, kita harus menghadapi ketakutan itu untuk melihat apa yang sebenarnya bisa kita capai."

Mereka berdua duduk dalam diam, mendengarkan suara ombak dan melihat cahaya bulan yang memantul di permukaan air. Malam itu, Alfan merasa ada sesuatu yang bergeser dalam dirinya, sebuah pemahaman baru tentang apa arti sebuah pengorbanan dan penerimaan.

"Yu, terima kasih," kata Alfan akhirnya. "Mungkin aku memang harus mempertimbangkan ini lebih serius."

Bayu hanya tersenyum, "Waktu akan menunjukkan jalan, Fan."

Mereka berdua tertawa, menyadari bahwa malam itu mungkin menjadi titik balik dalam hidup Alfan, sebuah malam di mana dia mulai melihat dunia dengan mata yang sedikit berbeda.

***

Beberapa tahun telah berlalu sejak malam itu di pantai Balekambang. Alfan kini berdiri di tepi Danau Ranu Kumbolo, menatap refleksi awan yang bergulir lambat di permukaan air. Di sampingnya, berdiri Hafiz, anak lelakinya yang berusia lima tahun, dengan pancingan kecil di tangan.

"Papa, kapan ikan-ikan itu akan menggigit umpan?" tanya Hafiz dengan rasa ingin tahu yang besar.

Alfan tersenyum, "Sabar, Hafiz. Ikan-ikan itu sedang memikirkan apakah umpan kita cukup enak untuk mereka."

Hafiz tertawa, "Aku harap mereka cepat lapar!"

Mengamati antusiasme anaknya, Alfan teringat percakapan dengan Bayu di pantai tahun-tahun yang lalu. Betapa takutnya dia akan tanggung jawab menjadi seorang ayah. Sekarang, melihat Hafiz tumbuh, rasa takut itu telah berganti menjadi rasa syukur yang mendalam.

"Papa, kenapa kau senyum-senyum sendiri?" Hafiz melihat wajah ayahnya yang penuh pikiran.

Alfan menunduk, memeluk Hafiz. "Papa hanya senang, Hafiz. Sangat senang bisa di sini bersamamu."

Hafiz memeluk balik, "Aku juga senang, Papa!"

Setelah beberapa saat, tiba-tiba tali pancing Hafiz bergetar. "Papa, lihat!" serunya dengan gembira.

"Tarik pelan-pelan," instruksi Alfan sambil membantu menstabilkan tangan Hafiz.

Dengan sedikit bantuan dari Alfan, Hafiz berhasil menarik ikan kecil ke darat. Kegembiraan di wajahnya tidak terhingga. "Kita dapat, Papa! Kita dapat!"

Alfan tertawa, kebahagiaan meluap dalam dirinya. "Kamu hebat, Hafiz!"

Mereka berdua duduk di tepi danau, Hafiz dengan bangga menunjukkan tangkapannya. Alfan merenung, menyadari betapa benarnya kata-kata ayahnya dulu. Menjadi ayah memang anugerah terbesar dalam hidupnya.

"Suatu hari nanti, kau akan mengajarkan hal yang sama pada anakmu, Hafiz," batin Alfan, sambil mengacak rambut anaknya.

"Seperti kau dan kakek? Ya, seperti aku dan kakekmu," lanjut percakapan di batin Alfan.

Di tepi danau yang tenang itu, di bawah sinar matahari yang hangat, Alfan dan Hafiz menikmati hari baru dalam perjalanan hidup mereka, sebuah perjalanan penuh dengan pembelajaran, tawa, dan cinta yang tak terhingga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun