"Boleh juga," sahut Alfan, tersenyum lebar. "Perjalanan terakhir sebelum aku... mungkin, menjadi ayah?"
"Siapa tahu," kata Bayu, sambil bangkit berdiri. "Mungkin kau akan menemukan jawabannya di sana."
Mereka meninggalkan taman, tertawa bersama, menyimpan berbagai pertanyaan tentang masa depan yang masih terbentang luas di depan mereka.
***
Malam itu, Alfan dan Bayu duduk di pinggir pantai Balekambang, menatap bulan purnama yang menggantung di langit. Suara ombak menghantam pantai melantunkan melodi yang menenangkan.
"Fan, kau pernah berpikir kenapa ayah kita-kita begitu bangga menjadi ayah?" tanya Bayu sambil memandangi bulan.
Alfan membuang pandang ke horison, "Mungkin karena mereka menemukan kebahagiaan yang tak kita mengerti saat ini."
Bayu mengangguk, "Ayahku sering bilang, anak-anak adalah seperti benih yang kita tanam. Kita lihat mereka tumbuh, berkembang, dan akhirnya berbuah."
"Benih, huh?" Alfan tersenyum sinis. "Aku lebih suka melihat mereka sebagai tanggung jawab yang mengikat."
"Tapi, Fan, kau sendiri sering cerita betapa ayahmu mengajari banyak hal, bahkan cara memancing yang sekarang ini sering kau banggakan," ujar Bayu, mencoba mencairkan suasana.
"Memang benar," akui Alfan. "Dan itu memang momen-momen indah. Ayah selalu sabar, bahkan saat aku hanya membuat kusut tali pancingnya."