Mohon tunggu...
Syahida Rizky (PGMI_UINSUKA)
Syahida Rizky (PGMI_UINSUKA) Mohon Tunggu... Mahasiswa PGMI (22104080005)

Saya adalah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) dengan NIM (22104080005) UIN Sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Parenting

RT 03 RW 03, Kampung Anggur yang Asri

11 Juni 2025   21:00 Diperbarui: 11 Juni 2025   20:37 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto tulisan kampung anggur RT 02 RW 03 Desa Kunti (sumber dokumen pribadi)
Foto tulisan kampung anggur RT 02 RW 03 Desa Kunti (sumber dokumen pribadi)
Foto wawancara bersama narasumber (sumber dokumen pribadi)
Foto wawancara bersama narasumber (sumber dokumen pribadi)
Foto wawancara bersama narasumber (sumber dokumen pribadi)
Foto wawancara bersama narasumber (sumber dokumen pribadi)
Kalau kamu berjalan santai ke RT 02 RW 03 Desa Kunti, Sampung, Ponorogo, mungkin kamu akan terkejut dengan pemandangan yang tak biasa. Bukan karena bangunannya megah atau jalannya mulus, tapi karena hampir setiap rumah di sana punya pohon anggur di depan rumahnya. Ada yang tumbuh rapi di pot, ada juga yang sudah merambat cantik di pagar bambu. Rasanya seperti masuk ke dunia kecil yang tenang dan teduh---kampung yang sederhana, tapi punya identitas unik: Kampung Anggur.

Inisiatif ini sebenarnya datang secara alami, bukan program pemerintah atau proyek lomba desa. Semuanya berawal dari satu pohon anggur yang tumbuh subur di halaman rumah salah satu warga. Warga lain yang melihat, tertarik mencoba. Lalu tumbuhlah rasa ingin bersama: "Gimana kalau semua rumah di RT ini punya pohon anggur juga?" Dari situlah semuanya dimulai.

Afifah, salah satu pemuda yang aktif dalam gerakan ini, bercerita dengan semangat saat ditanya soal awal mula Kampung Anggur. "Waktu itu nggak ada rencana besar kok," ujarnya. "Awalnya cuma lihat tanaman anggur tetangga yang bagus, lalu beberapa orang ikut tanam. Terus tiba-tiba muncul ide, 'Eh, enak ya kalau semua rumah punya.' Ya sudah, kami mulai ajak-ajak warga."

Gerakannya sederhana saja. Anak-anak muda ikut bantu cari bibit, orang tua menyiapkan pot dan tanah, ada yang tukar-tukaran batang stek, bahkan ada yang bantu bikin rambatan dari bambu. Semua dilakukan bareng-bareng, tanpa sponsor, tanpa lomba, dan tanpa target muluk. "Kami pengin suasananya adem dan enak dilihat aja," kata Afifah.

Yang menarik, anggur-anggur di kampung ini tidak dijual. Nggak ada yang panen lalu buka lapak di pasar atau jual online. Buah yang tumbuh biasanya dipetik buat dimakan sendiri atau dibagi ke tetangga. "Kita tanam ini bukan buat cari untung, tapi buat jadi ciri khas kampung. Seneng aja lihatnya kalau semua rumah ijo-ijo, rapi, dan adem," tambah Afifah.

Kini, hampir semua rumah di RT tersebut punya minimal satu pohon anggur. Beberapa warga bahkan mulai coba-coba jenis anggur lain, belajar teknik perawatan dari YouTube, atau tanya langsung ke petani anggur. Tapi semangatnya tetap sama: bukan untuk bisnis, tapi buat memperindah lingkungan dan mempererat hubungan antarwarga.

Afifah sendiri mengaku jadi lebih akrab dengan tetangga sejak gerakan ini mulai. "Biasanya kalau ketemu cuma say hi. Sekarang bisa ngobrol panjang soal pupuk, daun kuning, batang patah. Nggak kerasa, jadi dekat. Bahkan anak-anak juga jadi lebih sering main di luar, nongkrong bareng di bawah rambatan anggur."

Tanaman yang tumbuh juga bikin kampung terasa lebih hidup. Saat pagi, ibu-ibu menyiram tanaman sambil ngobrol ringan. Sore hari, anak-anak kadang petik buah yang matang lalu makan rame-rame. "Yang dulunya cuma tanah kosong atau rumput liar, sekarang jadi halaman cantik. Bikin betah," tutur Afifah sambil tertawa kecil.

Kampung Anggur ini memang nggak pernah dideklarasikan secara resmi. Nggak ada plakat, nggak ada peresmian. Tapi orang-orang dari luar kampung yang datang ke sini langsung tahu kenapa tempat ini disebut begitu. Bahkan ada juga yang datang khusus buat lihat-lihat dan minta bibit. Tapi warga RT 02 tetap santai. Mereka tidak merasa kampungnya istimewa, hanya merasa lebih nyaman dari sebelumnya.

Ketua RT setempat juga ikut mendukung gerakan ini. Ia bilang senang melihat kampungnya jadi lebih rapi dan warga jadi makin kompak. Bahkan katanya, ada rencana supaya setiap rumah baru nantinya juga ikut tanam anggur, supaya semangat ini terus berlanjut.

Yang membuat gerakan ini berhasil bukan sekadar soal tanaman. Tapi karena warganya sama-sama punya rasa ingin merawat lingkungan. Nggak harus mewah atau mahal, cukup dengan satu pohon anggur, mereka sudah bisa menciptakan kebersamaan yang lebih kuat.

"Kalau ada rumah yang belum nanam, biasanya ditawari stek gratis. Jadi semua saling bantu. Nggak ada tuh yang bilang, 'Itu bukan urusan saya.' Justru kalau ada daun yang mulai layu, suka ada yang iseng ngingetin: 'Eh, itu nggak disiram ya?'" kata Afifah sambil tersenyum.

Afifah berharap gerakan seperti ini bisa jadi inspirasi buat RT atau desa lain. Nggak harus anggur juga, bisa tanaman apa saja. Yang penting, ada niat bersama buat bikin lingkungan lebih hijau dan warga lebih akrab. "Kadang hal kecil kayak gini justru punya dampak besar. Bikin kita sadar, rumah itu bukan cuma soal tembok, tapi juga soal siapa yang tinggal di sekitar kita," ujarnya mengakhiri.

Kini, RT 02 RW 03 bukan hanya dikenal karena anggurnya yang tumbuh di halaman rumah, tapi juga karena cerita di baliknya. Cerita tentang warga yang peduli, saling dorong untuk berbuat baik, dan memilih mencintai lingkungannya dengan cara yang sederhana tapi bermakna. Di tengah dunia yang serba cepat dan kadang terasa makin individualistis, kampung kecil ini justru memberi contoh bahwa kedekatan, kepedulian, dan keindahan bisa tumbuh dari hal-hal kecil---dari setangkai pohon anggur yang dirawat dengan tangan dan hati.

Warga RT 02 RW 03 Desa Kunti mungkin tidak punya fasilitas mewah atau jalan mulus seperti di kota, tapi mereka punya sesuatu yang lebih mahal nilainya: rasa memiliki. Ketika satu rumah menanam anggur, yang lain ikut merawat. Ketika satu batang layu, yang lain ikut peduli. Di situlah letak kekuatan kampung ini---pada semangat gotong royong yang tumbuh seperti sulur anggur: pelan-pelan, tapi pasti merambat dan menyatukan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun