*Catat kecil pengantar dialog, dalam acara Talk Show "Sastra dan AI" Sangdipa.
Kehidupan modern adalah era yang kompleksitas pragmatisnya paling disorder-sofisticated dari kebudayaan manusia, sepanjang sejarah peradaban. Sejak awal fenomenanya di abad 19 hingga abad sekarang.Â
Modernisme menimbulkan kekaguman sekaligus (seolah) menjadi 'satu-satunya' cita dan harapan masa depan manusia. Kekuatan rasionalisme dalam sains ilmiah dan aplikasinya dalam wujud teknologi, menjadikan kehidupan modern sebuah peradaban yang khas dalam sejarah mutakhir ummat manusia.
Revolusi perubahan prilaku dan pemikiran karena pengaruh kemajuan sains ilmiah dan tehnologi yang menyertainya, membentuk sebuah kebudayaan baru post-Tradisi. Namun ditengah eksistensi peradaban modern yang telah merentang hampir 2 abad, menyisihkan 'keresahan eksistensial' yang mengkawatirkan, yakni: hilangnya semangat moral dan kepekaan spritual dan kemanusiaan. Peradaban ilmiah dan teknologis, telah mengeringkan moral dan rohani kehiupan, kata Immanuel Kant.
Salah satunya, paling terkini dalam peraraban ini adalah keberadaan 'mesin kecerdasan buatan' atau artificial intelliqence (AI). AI sebagai produk tehnologi (sebagaimana produk tehnologi lainnya) dirancang untuk membantu kehidupan manusia dalam rangka menciptakan kemudahan (efektifitas, efesiensi) dan kesejahteran ekonomi. Mesin AI membuka jalan inovasi semua bidang, termasuk dunia sastra.
Wajah Sastra dalam Cermin Kecerdasan Alamiah dan 'Kecerdasan Buatan'
Sejarah modern dengan kecanggihan tehnologi yang ada padanya, juga membelah wajah proses kreatif seni secara umum, dan secara khusus dunia sastra dalam dua wajah proses penciptaan. Dominasi penciptaan karya-karya intelektual dan imajinasi telah 'direnggut' atau diambil alih oleh mesin-teknologi, dari yang sederhana hingga yang paling canggih. Dari yang masih melibatkan 'unsur kemanusiaan' hingga sepenuhnya didominasi oleh 'mesin canggih' humanoid.
Kita mengambil satu contoh karya sastra, sebuah puisi dari Subagiyo Satrowardoyo dari kumpulan puisinya berjudul "Hari dan Hara", terbit tahun 1982. Sebuah puisi yang ditulis pada abad 19 oleh salah seorang penyair besar Indonesia di zamannya. Puisi-puisi itu ditulis ketika sang penyair sedang mukim di Eropa dan Australia, salah satunya adalah "Bayangan Kata":
I
Bayangan kata terlempar di meja//Terlahir dengan tangis bayi//Diruang gelap gerak berhenti//Setiap segi bersudut mati//Menggoda ingatan hutan sakti//Tempat bersabda kata abadi
II
Pada garis tak lurus//Rencana terus tertunda-tunda//Sebelum sempat selesai bicara//Sudah tersendat suara berbata-bata//Dingin malam tergamit di jendela//Benih dipangkuan telah habis manisnya//Kelesuan ini lebih parah//Dari terseret di lorong-lorng duka//Darah yang mengalir dari tangan terpaku//Akan lebih lantang menjeritkan sakit//Dari sisa-sisa kata
III
Helai surat yang dilambaikan tangan//tidak tampak bunyi kalimatnya//kabut menghambat mata//untuk melihat lewat tabir hari//uap di kaca masih mengaburkan rahasia//apa yang bakal tampil esok pagi//yang kini ada hanya tanda bekas luka//(seperti pada perempuan hamil)// yang terkuak sehingga mengalir darah kata//tak tertahan derasnya
IV
Di celah waktu//dimana detik berakhir//kata murni tenggelam dan terkubur lama//menunggu seribu tahun lagi//kalua ada perempuan meratap dipadang pasir karena//kehilangan segala//kata sejati menjelma//ketika nasib tak lagi terderita
Secara historis puisi ini ditulis ketika mungkin 'mesin AI' belum sepenuhnya terbayangkan kehadirannya. Tentu saja puisi ini adalah karya dari 'kepribadian' penyairnya sebagai mahluk manusia, ketika merefleksikan dunia realitas dalam wujud ekpresi bahasa sastrawi-puitik.