BERCERMIN
Wajah lelaki tua bercermin pada genangan lumpur yang setua warna wajahnya. Mengais ia di balik tanah mencari makna yang disembunyikan Tuhan. Bara panas siang itu menguliti kulitnya hingga retak-retak. Nampak jelas sajak di punggungnya terbaca dan lukisan di dadanya bercerita prahara jagat.
Abad-abad penuh kusta. Abad-abad genap duka. Borok menggerogoti prasasti zaman dengan obat kata-kata yang tersusun rapi dalam buku-buku filsafat dan suara-suara moral: menumpuk di atas meja nurani yang rapuh.
Wajah lelaki tua bercermin pada sumur setua wajahnya, adalah rupa zaman, yang pada siang itu di sinari cahaya kristal dan berlian.
SATU BINTANG MALAM
Tidak perlu menulis malam ini, kata-kata telah menjadi angin dan terselip di dinding gua belantara bisu.
Detak air jatuh tetes mengeja hampa. Televisi menjadi buah gendongan perempuan pasar menuju lembah. Di sanapun lembah bersuara mati sebab tertipu janji-janji nona penunggu swalayan, yang bibirnya berpoles lipstik kebohongan.
Matahari berenang di kolam, memanja diri atau botol-botol wiski mengerang kesakitan di trotoar karena ruhnya terluka? Atau kerinduan para sufi menyeret darahnya mengejar wajah Ilahi? Bukan. Malam ini tak ada sajak karena semuanya hanya satu bintang malam ini.
#Sumber Puisi: Syafruddin (shaff) Muhtamar, Sujud, Kumpulan Puisi, Penerbit Pustaka Refleksi, 2007.