Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sajak-sajak yang Bermula + 1 Puisi

14 Oktober 2022   13:41 Diperbarui: 14 Oktober 2022   13:53 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SAJAK-SAJAK YANG BERMULA

Sebuah Awalan

Yang bermula adalah yang selalu ragu-ragu kata Rene Descartes: sebab keyakinan atau kepastian hanya mungkin ditemukan dalam labirin keraguan, yang telah disileti dengan ketajaman analisa.

Demikian pula dengan puisi yang ditulis mula-mula oleh penyair pemula. Ada kegamangan yang mengalir dari ujung pena, menggenang sebagai syair-syair penuh ragu. Sebab pengalaman makna kritis belum sempurna memenuhi rongga jiwa, tempat puisi menemukan nafas hidupnya.

Bahwa puisi adalah makna yang berbicara menurut kualitas dirinya sendiri. Kualitas dalam pahaman sebagai daya hidup, melekat pada individu penyair, yang diraih dari sikap kritis terhadap hidup dan kehidupannya. Sehingga puisi adalah cerminan jiwa penyair. Puisi bisa menjadi pantulan kebohongan atau bisa kejujuran dalam pengertiannya yang sejati.

Makna sebagai meta-realitas, perwujudannya senantiasa menemukan sifat kemenduaan yang tak terbatas dalam kerangka pertanda-pertanda. Sebab pertanda adalah proses pemenjaraan makna yang dimaksudkan, sehingga tafsiran menjadi hal, yang sangat subyektif.

Subyektivisme tafsir ini aktif sebagai bagian potensi sadar, yang tak terhindarkan, baik pada penyair maupun pada pembaca ‘teks’. Sehingga menyeret-nyeret kebenaran dengungan pertanyaan yang tak berujung. Dan makna, harus dikembalikan kerahimnya, sebagai meta realitas dan setiap orang mesti lari pada semesta penghayatan.

Karenanya penyair adalah pembaca dalam lingkaran penghayatan makna. Problem inilah yang senantiasa menghantui dunia kepenyairan. Sebagaimana puisi adalah kerja individual yang diselimuti kabut subyektifisme sebagai ‘takdir-logis’ yang harus diterimanya. Sehingga dengan demikian, mengukur kebenaran dalam puisi dengan formula subyektifisme dan obyektfisme, adalah sebentuk kerja sia-sia. Sebab makna kebenaran bersifat ‘melampaui’, termasuk medium pertanda tempatnya menumpang untuk mempersaksikan diri.

Antara sajak-sajak yang bermula dengan kepadatan makna yang ‘utuh’ (sebagai meta realitas yang tertampung dalam rentetan kata) adalah hal berbeda. Sajak-sajak yang bermula, ditulis sebagai upaya penyampaian pengetahuan tentang makna oleh penyair pemula, adalah wilayah ‘keraguan makna-biografis’ penyair. Dan merupakan awal dari rentetan panjang kerja kepenyairannya hingga tiba pada ‘kepastian makna-biografisnya’.

Sementara makna adalah ‘wilayah independen’, sebagai potensi daya hidup dalam syair-syair penyair, yang kepadatannya sebagai kematangan ditentukan oleh sikap kritis penyair terhadap realitas dalam dirinya dan realitas diluar dirinya. ‘Wilayah independen’ inilah yang sesungguhnya menentukan kualitas tulisan-tulisan seorang penyair.

Seperti batu suiseki yang lahir dari polesan ribuan tahun musim yang melintas alam. Ia lahir sebagai kualitas tak tertandingi: kekerasan berpelukan mesra kelembutan, diatas permukaan keindahan, yang tiada banding. Meskipun awalnya suiseki adalah batu biasa, tergeletak serampangan disisi kali berlumpur, tidak diperdulikan pejalan kaki.

Demikian pula arah biografi kepenyairan. Dari sajak-sajak yang bermula, penuh makna ‘kekanak-kanakan’: kata-kata berlarian kegirangan penuh semangat yang tak rapi, ‘ikut-ikutan’ menjadi gaya yang khas dan ‘gagah-gagahan’ menjadi dominan disetiap goresan pena bergerak. Hingga pada periode, ketika puisi-puisi itu adalah dirinya sendiri, yang matang sebagai ‘anak alam’. Lahir dari Rahim semesta makna yang sempurna.

Tulisan-tulisan dalam buku ini adalah termasuk sajak-sajak yang bermula. Ditulis ketika cinta pertama tak tertahankan lagi pada puisi. Sehingga apa yang terjadi ‘didalam diri’ dan ‘diluar diri’, senantiasa mendesak untuk dijelmakan dalam irama kalimat-kalimat penuh sayap. Terkadang hanya permainan kata. Makna tersembunyi dalam lipatan-lipatan tanda, yang hadir tak beraturan. Atau makna begitu lugu, meluncur dari pertanda yang sok rapi. Bahkan gaya menjadi status qou yang tak mandiri.

Demikianlah puisi sebagai dunia samar. Terkadang harus dijelaskan ‘rahim’ tempatnya lahir, agar keraguan menjadi kepastian yang tak bertopeng. Dan bahwa tetaplah makna itu senantiasa hadir dengan caranya sendiri. Termasuk dalam segala kedirian sajak-sajak berikut ini.

Periode penulisan sajak-sajak ini dimulai tahun 1997 hingga 2000. Pengalaman batin dan empiris dalam ‘jatuh cinta’, renungan atas realitas sosial hingga kemungkinan ‘sikap religius’: bercampur baur sebagai tema-tema utama dalam sajak-sajak. Penulis mengucapkan selamat menikmati.

SM

2007, diperbaharui 2020.   

KEMATIAN

Tak terbaca sepi yang kau tulis pada kelopak kembang kuning, manakala matahari bening. Anak-anak tak berumah lagi di kelopak daun. Dan aku dengar rintih ranting-ranting. Malam berangin duka. Alir air menghibur bulan yang jatuh pada batu. Tinggal pakaian Ayah terpasung sunyi dalam lemari. Sepasang terompahnya menunggu bisu. Anak-anak belum juga kembali. Resahmu berbahasa bayang di kursi ruang tamu yang kosong, memandang potret keluarga, yang menata kata tanpa makna.

Yang awalnya tangis akhirnya adalah tangis, telah silih berganti bernyanyi. Hanya sepi ini semakin menjadi, ketika janjiNya harus dipenuhi. Hingga sepi itu tak terbaca lagi, pada kelopak mata air bening.

#Sumber, Syafruddin (shaff) Muhtamar, Sujud (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, Tahun 2007

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun