Amir Hamzah (1911 - 1946) adalah seorang sastrawan keturunan bangsawan kelahiran Langkat yang terkenal dengan puisi-puisinya yang liris. Dia digolongkan sebagai Angkatan Pujangga Baroe yang berorientasikan Timur, berbeda dengan Sutan Takdir Alisjahbana yang berorientasikan Barat. Pada 1975, pemerintah menganugerahi Amir Hamzah dengan gelar Pahlawan Nasional.
Puisi-puisi Amir banyak menggunakan kata-kata yang arkais dalam khazanah Melayu klasik, sehingga cukup sulit dimengerti. Sastrawan Sapardi Djoko Damono bahkan menyebut puisi Amir Hamzah sebagai "puisi gelap" ("Puisi 'Gelap' Amir Hamzah, dalam Paradoks Amir Hamzah, KPG, 2018). Namun, ada juga yang menggolongkan Amir sebagai sastrawan Sufi karena puisinya yang bisa dimaknai secara sufistik, terutama puisi "Padamu Jua" yang dimuat dalam kumpulan puisi karya Amir, Nyanyi Sunyi, yang diterbitkan pada 1941. Saya sertakan puisi lengkapnya di bawah ini.
Padamu Jua
Habis kikisÂ
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil gemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu - bukan giliranku
Mati hari - bukan kawanku
(Dalam Nyanyi Sunyi, 1941)
Sebelumnya, kita perlu mengetahui dulu apa itu definisi Sufisme. Dalam pengantar bagi buku kumpulan puisi sufistik berjudul Islamic Mystical Poetry (Penguin, 2019), Mahmood Jamal dengan jernih memberikan definisi Sufisme, yaitu Jalan Cinta di mana jiwa manusia mencari Tuhan dan, jika Rahmat Tuhan diberikan kepada sang penempuh jalan (salik), di mana sang salik akan mencapai fana (pelenyapan, annihilation) di dalam Tuhan dan juga baqa atau eksistensi abadi di dalam Kesadaran Ilahi.Â
Namun, hanya para orang suci (auliya) dan segelintir orang terpilih yang bisa mencapai kedudukan (maqam) tersebut. Jadi, kehidupan abadi sempurna (semacam baqa) hanya bisa dicapai terlebih dulu lewat pelenyapan dirinya.Â
Kita bisa saja menafsirkan Padamu Jua sebagai puisi sufistik karena larik 'Habis kikis/segala cintaku hilang terbang/Pulang kembali aku padamu' dalam bait pertama dapat diibaratkan sebagai kondisi fana atau pelenyapan untuk kemudian menuju pulang kepada Tuhan (baqa). Apalagi kata 'seperti dahulu' mengesankan perjanjian asali antara manusia sebelum dilahirkan dan Tuhannya.
Ini ditegaskan dengan larik 'kandil gemerlap' di bait kedua di mana cahaya sering sekali diidentikkan dengan Kebenaran Hakiki atau pancaran Ruh Tuhan. Penguatan diberikan lagi oleh larik 'Di mana engkau/Rupa tiada' di bait ketiga yang memberikan impresi Amir Hamzah dalam kegelisahan jiwanya merindukan melihat rupa Tuhan secara langsung untuk pulang kepada-Nya.
Sekilas tafsir sufistik di atas berterima dan valid. Namun, jika kita melihat perjalanan cinta dan pergulatan batin seorang Amir Hamzah, kita juga patut menduga Padamu Jua sebenarnya adalah puisi kasih tak sampai dari Amir kepada pujaan hatinya, Ilik Sundari.
Pasalnya, perjalanan cinta Amir Hamzah memang cukup getir. Saat menuntut ilmu di AMS Solo jurusan Sastra Timur, Amir bertemu seorang dara manis bernama Ilik Sundari. Dalam biografi Amir Hamzah Pangeran dari Sebrang (Gaya Favorit Press, 2011) karya N.H. Dini, terdapat banyak foto Amir Hamzah berdampingan bersama Ilik Sundari, mengesankan hubungan yang lebih dari sekadar teman.
Hanya sayangnya, hubungan ini ditentang oleh ayah Ilik yang merasa status bangsawan Amir membuat derajat keduanya tidak seimbang. Palu godam bagi hubungan keduanya akhirnya datang berupa telegram dari Langkat yang meminta Amir Hamzah pulang kampung. Di sana, paman Amir yang sudah membiayai sekolah Amir, yaitu Sultan Mahmud, meminta Amir menikah dengan putrinya alias sepupu Amir sendiri, yaitu Tengku Kamaliah. Amir pun menyetujui perjodohan itu, menikahi Tengku Kamaliah, dan tentunya memutuskan asmaranya dengan Ilik Sundari.
Putus cinta dengan kekasih sejati dan menikah dengan orang lain tentu pukulan berat bagi siapa pun, tak terkecuali Amir yang berperasaan halus dan romantis. Kata 'habis kikis/segala cintaku hilang terbang' adalah seruan pilu Amir bahwa cintanya di dunia telah habis, berhenti pulang di Ilik Sundari.
Amir juga mungkin membayangkan perasaan Ilik yang pasti risau dan terbakar cemburu melihat Amir harus menikah dengan orang lain. Muncullah larik 'Engkau ganas/Engkau cemburu'. Sebab, Tuhan dalam tradisi Islam tidak pernah diasosiasikan dengan kata 'ganas' mengingat Tuhan adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Amir juga mungkin membayangkan Ilik tetap sendiri bersedih hati dalam kondisi mencinta dalam diam atau sunyi seperti tertuang dalam larik di bait terakhir 'Kasihmu sunyi/Menunggu seorang diri.' Amir lantas menutup rintihan jiwanya yang mendamba asmara sempurna dengan kesadaran getir bahwa memang bukan waktunya untuk bersuka cita di masa hidupnya, 'Lalu waktu - bukan giliranku/Mati hari - bukan kawanku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI