Di tengah momentum nyaris bersamaan dua hari besar agama, Nyepi bagi umat Hindu dan Idul Fitri bagi umat Muslim, suhu politik kita justru sedang tinggi-tingginya. Gara-garanya adalah gelombang demonstrasi di mana-mana menentang UU TNI sekaligus mengkritik pemerintah yang terkesan semakin tidak akomodatif terhadap aspirasi sebagian rakyat sipil.
Bahkan ada yang mewanti-wanti soal potensi reformasi jilid II sesudah 1998. Padahal, kita sudah bersusah-payah menggumuli proyek reformasi dan demokratisasi damai selama 27 tahun terakhir. Meskipun masih ada banyak kekurangan di sana-sini, apakah kita lantas rela jika hasil jerih-payah sekian lama itu buyar dalam sekejap oleh babak baru Reformasi--yang jilid pertamanya saja pada 1998 didahului oleh sejumlah tragedi--padahal belum tentu itu memantik perubahan secara lebih baik?Â
Sejatinya, mereka yang geram terhadap situasi sosial politik saat ini bisa menyalurkan hasrat mereka mendorong perubahan politik lewat satu cara menggebrak yang lebih damai. Yakni, revolusi damai berbasiskan konsep satyagraha gagasan Mahatma Gandhi, seorang tokoh bangsa India.Â
Berbekal Satyagraha, Gandhi di masa lampau mampu menggentarkan hati pemerintah kolonial Inggris untuk melunakkan kebijakan-kebijakan menindasnya---seperti pajak garam---dan bahkan untuk memberikan kemerdekaan bagi India.
Menurut Gandhi, tutur I Wahana Wegig dalam Dimensi Etis Ajaran Gandhi (1997), satyagraha adalah pencarian kebenaran tanpa kenal lelah dan suatu ketetapan hati untuk mencapai kebenaran. Di sisi lain, satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan ini adalah ahimsa alias laku kasih dan nonkekerasan untuk menggapai kebenaran. Artinya, Gandhi mengajari setiap manusia untuk mengabdikan seluruh hidupnya pada kebenaran semata. Juga, berupaya menyadarkan kesalahan sesama manusia lewat kesabaran karena semua manusia toh pada dasarnya baik.
Sekilas, satyagraha begitu idealistis dan tidak punya aspek praktis. Padahal, itu keliru. Sebab, satyagraha tidak berhenti pada tataran filosofis semata, melainkan juga menganjurkan cara konkret untuk mengoreksi kesalahan sesama manusia dan memantik perubahan berskala besar.
Pertama, aspek praktis satyagraha dapat mengambil bentuk civil disobedience. Terilhami gerakan bernama sama dari buku Henry David Thoreau, Civil Disobedience (1849), ini adalah perlawanan pasif bersifat rohaniah yang dengan penuh kesadaran menunjukkan ketidakpatuhan atau perlawanan terhadap sejumlah kebijakan negara yang dianggap tidak adil dan tidak demokratis.Â
Sebagai contoh, masyarakat sipil bisa menolak mematuhi satu undang-undang atau kebijakan tertentu, misalnya dengan mengajukan judicial review atau perlawanan ke PTUN. Perlawanan tanpa kekerasan ini bertujuan untuk menyadarkan negara dan elit penguasa bahwa hukum yang mereka buat itu merugikan rakyat. Jadi, masyarakat sipil tidak bermaksud melanggar hukum moral dengan tindakan ketidakpatuhan ini.
Kedua, gerakan menolak kerjasama (non-cooperation) sembari melakukan unjuk rasa damai (direct action). Bersinggungan dengan dimensi praktis pertama satyagraha berupa pembangkangan sipil, non-kooperasi adalah pilihan untuk menolak memberikan dukungan pada sistem yang dirasa tidak adil.Â
Sementara itu, unjuk rasa damai adalah tindakan langsung yang dilakukan massa secara terbuka dan spontan, tapi damai.
Kedua langkah praktis satyagraha ini terbukti punya dampak langsung signifikan bagi perubahan sosial politik. Misalnya, Gandhi pernah membuat pemerintah Inggris membatalkan kebijakannya memajaki garam pada 1931. Caranya, Gandhi dan rakyat India pengagumnya menolak membayar pajak itu. Juga, menunjukkan ketidakpatuhan itu secara lebih jauh dengan unjuk rasa berjalan kaki ratusan kilometer. Alhasil, pemerintah Inggris gentar melihat aksi besar-besaran tersebut dan mengurungkan niatnya memajaki garam.
Namun, memang tidaklah mudah mencangkokkan mentah-mentah ajaran Gandhi serta kesuksesannya untuk Indonesia. Sebab, ada satu syarat yang perlu kita penuhi di sini untuk membuat ajaran satyagraha membekaskan dampak politis signifikan.
Syarat itu berupa kenyataan bahwa pengamalan aspek praktis-politis satyagraha memerlukan keteladanan dari satu atau sejumlah sosok tokoh dan guru bangsa yang berintegritas. Bahkan, satu figur saja sebenarnya sudah cukup, sebagaimana terhimpun pada diri Gandhi di India atau pada diri Martin Luther King ketika memelopori persamaan hak bagi kulit hitam di Amerika Serikat.
Kepeloporan tokoh bangsa diperlukan untuk memberikan gaung besar bagi gerakan civil disobedience. Jika yang memeloporinya orang biasa-biasa saja, gerakan itu sulit membekaskan dampak (magnitude) apa pun. Memang ada contoh aksi ibu rumah tangga biasa Rosa Parks di AS yang menolak kebijakan segregasi tempat bus terpisah antara kulit hitam dan kulit putih pada 1955. Namun, tetap saja aksi menolak pindah duduk (sit-in) itu baru meluas dampaknya sesudah diamplifikasi oleh Martin Luther King.
Akhirul kalam, janganlah kita berhasrat menggerakkan aksi-aksi bermotif anarkistis yang berisiko melahirkan tragedi kelam bagi anak bangsa. Berbekal konteks hari raya Nyepi saat ini, bukankah lebih baik bagi kita untuk memoderasi (melunakkan) hasrat revolusioner itu menjadi civil disobedience dan unjuk rasa damai ala Gandhi dan Thoreau?
Problemnya, kita tentu harus mencari sosok-sosok inspiratif untuk melakukan civil disobedience dan memberikan pressure pada pemerintah untuk memperbaiki negara ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI