"Ya, seperti ombak yang terus bergulung, tidak pernah berhenti."
"Bagus," kata Pak Eko memuji Diana, "Bait pertama dengan kedua erat hubungannya, ya?"
"Coba baca bait ketiga!" perintah Pak Eko.
"Maksdunya apa ya, Pak? Nana belum paham," keluh Diana.
"Sama. Pak Eko juga. Ha ha ha ...," jawab Pak Eko sambil terbahak.
"Ih, Pak Eko ini. Serius, Nana tidak tahu," kata Nana.
"Kalau menurut Pak perenungan si bocah akan nasibnya begitu mendalam. Digambarkan seperti cahaya lentera. Tahu lentera? Cari di internet! Ketika mbak Rahma kecil dan Pak Eko masih tinggal jauh di pedalaman, kami menggunakan lentera untuk menerangi depan rumah. Lentera yang cahayanya tidak seberapa terang itu mencoba menembus gelapnya malam. Mungkin tidak? Si bocah bertanya, kapan nasibku berubah. Mampukan aku melewati kesulitan hidup? Begitu kira-kira," jelas Pak Eko.
"Terus apa makna: kibar layar kian terhempas tertiup angin yang bimbang, siap terlempar bersama badai dan gelombang pasang?" tanya Diana dengan mimik bingung.
"Si bocah tadi dalam hatinya ingin mencoba mengubah nasibnya siap menghadapi rintangan seperti layar yang berkibar tertiup angin yang siap terlempas bersama badai. Kamu tahu 'kan. Meskipun terhempas angin, layar terkembang membuat perahu melaju? Artinya hidup itu harus optimis. Jangan kayak kamu. Dikit-dikit, mumet aku, pusing aku. He he he ...," kata Pak Eko menjelaskan.
"Kena, deh," tukas Diana sambil mengangkat bahu.
"Coba jelaskan apa maksud bait keempat?" tantang Pak Eko.