"Siapa, Pak?" tanya Diana bingung.
"Seperti kamu. Tugas gurumu berat lo, tapi kamu taklukkan dengan berdiskusi dengan Pak Eko. Nah, sebelum Nana bangun kembali larik-larik puisi itu, apa mungkin penggambaran kesulitan hidup itu dilakukan oleh seorang bocah kecil?" tanya Pak Eko.
"Rasanya, tidak mungkin," jawab Diana. Ia semakin paham alur puisi yang dipilihnya. Diksinya indah namun bernada pesimis.
"Mestinya, diganti. Misalnya seorang lelaki atau seorang nelayan tua, atau lainnya?" jawab Diana.
"Cerdas!" Pak Eko mengacungkan kedua jempolnya ke arah Diana.
Dua hari kemudian, Pak Eko mendapat pesan WA berisi puisi yang sudah diubah oleh Diana sesuai dengan pemahamannya.
Bercadar Bias Berlumur Kelabu
(Ditulis ulang dari puisi karya Theresia Martini oleh: Nana Diana)
Di balik bilik kecil sempit berdinding bambu
Tampak seorang nelayan tua duduk termangu
Hanya berteman sepi sambil memegang bubu
Jaring terajut, tak surut berpacu dengan waktu
Nelayan tua duduk termangu
waktu berharga begitu saja berlalu
Menatap tak berkedip mata merenungi nasib
Ombak tak lekang terus bergulung berkejaran
Bercengkerama bersama perahu-perahu nelayan
Gelapan cakrawala luas membentang
Kelip lentera berpendar terangi cemasnya gelombang
Kibar layar terhempas tertiup angin, bimbang
Siap terlempar bersama badai dan gelombang pasang
Sejuta tangan ombak menyatu, geladak membisu
Memandang nasib pada cermin waktu tak tentu
Terkulai menatap laut bercadar bias berlumur kelabu
Dihimpit sulitnya zaman nelayan tua hanya termangu