Mohon tunggu...
Susanti
Susanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka menulis puisi dan karya-karya fiksi lainnya. Saya sedang berkuliah di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Tadris Bahasa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Tempat Persinggahan

29 April 2024   22:03 Diperbarui: 1 Mei 2024   23:09 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku hanya terdiam dan menangis. Kepalaku tertunduk tak mampu menjawab semua pertanyaan yang ditanyakan ayah kepadaku. Lalu, Pak Bambang dan Bapak polisi menjelaskan kronologi kejadian yang telah aku alami. Ayah dan ibu pun terkejut seakan tak percaya bahwa aku telah mengalami kejadian semenakutkan ini. Mereka menangis dan memelukku begitu erat sambil tiada henti mengucapkan rasa syukur atas apa yang telah menimpa diriku.

"Maafkan ayah dan ibu ayna. Maafkan ayah karena tidak jujur dan menyembunyikan kenyataan pahit ini padamu. Seharusnya kamu harus mengetahui apa yang terjadi pada dirimu. Maafkan ayah karena gagal menjagamu" Ucap ayah yang terus menangis dan tiada henti memelukku.

"Maafkan ibu ayna. Maafkan ibu karena tidak bisa menerima kenyataan yang telah menimpa ibu 17 tahun yang lalu. Kamu tidak salah apa-apa. Seharusnya ibu tidak pernah membencimu. Seharusnya ibu bisa memaafkan kejadian yang telah menimpa keluarga kita. Seharusnya ibu bisa memberikan kasih sayang dan menjagamu ayna dengan rasa ikhlas. Maafkan ibu ayna, maafkan ibu" Isak ibu yang terus menangis dan tanpa henti meminta maaf kepadaku.

"Tidak apa-apa, ayah dan ibu tidak salah. Seharusnya ayna tidak meninggalkan kalian begitu saja. Seharusnya ayna tidak kabur dari rumah. Maafkan ayna yang telah salah mengambil keputusan" Sambungku dengan tangisku yang semakin pecah dengan penuh penyesalan karena kebodohan yang telah aku perbuat.

Setelah saling memaafkan dan menerima segala kenyataan yang telah terjadi pada keluargaku, kamipun saling berpelukan dan tiada henti berterima kasih dan bersyukur dengan keajaiban Tuhan kepadaku.

Ayah dan ibu juga berterima kasih kepada Pak Bambang dan Bapak polisi karena sudah menolongku dari penjahat. 

Setelah kejadian itu, ayah dan ibu selalu menyanyangiku dengan tulus dan selalu menjaga satu sama lain. Hidup kami menjadi rukun. Tidak ada kebencian diantara kami. Semuanya sudah menjadi lebih baik. Rumah yang kuharapkan untuk tempat pulang menjadi kenyataan. 

Rumah yang selama ini ku mimpikan menjadi tempat bahagia untuk pulang. Kebahagiaan selalu memancar dari keluarga kami. Ternyata tempat yang paling nyaman setelah pencarian panjang adalah pulang ke rumah dan bertemu dengan orang-orang terkasih. Rumah yang kuinginkan menjadi surga yang selalu kurindukan.

             
TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun