Deruh angin seakan membangunkan lamunanku. Bergemuruh menandai bahwa sebentar lagi akan hujan dan datangnya badai petir. Aku beranjak dari tempat dudukku yang telah ku duduki hampir 3 jam lamanya. Entahlah, saat ini pikiranku sangat kacau dan banyaknya sayat-sayat kalimat pahit yang kutelan pelan-pelan. Mencoba menerima kenyataan buruk yang telah kudengar dari pertengkaran ayah dan ibu.Â
Dua hari yang lalu, aku mengetahui segala rahasia pahit yang selama ini keluarga besarku simpan dariku. Kenyataan yang tak kubayangkan sebelumnya dan harus kuterima dengan ikhlas yang kupaksa. Seakan-akan membuat hatiku sesak, ingin berteriak, dan meninggalkan dunia yang penuh dengan drama ini.
Kenyataannya aku adalah anak hasil perselingkuhan ayahku dengan seorang pelacur. Pantas selama ini yang sering kupanggil ibu sangat membenciku. Jangankan untuk memeluk dan mencium, menyentuhku saja ibu tidak mau. Setelah 17 tahun lamanya yang kutau ibuku, ternyata hanyalah orang lain yang membenci dan menganggap bahwa aku hanyalah bencana dalam hidupnya.
Hati siapa yang tidak hancur setelah mengetahui hal ini. Karena mendengar pertengkaran antara ayah dan ibu pada tempo dua hari yang lalu. Aku hanya bisa terdiam dan menangis. Membayangkan bahwa ini hanyalah mimpi burukku. Namun seketika jariku mencubit pipi kiriku dan membuatku meringkih kesakitan. Ternyata ini bukan mimpi. Ini adalah kenyataan.Â
Kenyataan yang membuat hatiku teriris secara perlahan dan mengalirkan setetes demi setetes darah yang kian banyak. Kalau bisa digambarkan darah dan air mata itu bisa membuat danau yang tidak ada ikan dan tumbuhan yang ingin tumbuh dan hidup di dalamnya. Isinya hanyalah danau kematian.
Keesokan harinya aku berniat untuk kabur dari rumah dan meninggalkan ayah dan ibu. Agar ibu tidak terus menerus melihat bencana dalam hidupnya. Bencana yang terus terlihat di depan matanya selama 17 tahun ini. Aku mulai beraksi pada saat orang rumah masih tertidur sangat pulas. Sekitar jam 3 pagi aku mulai menjalankan rencanaku untuk kabur dari rumah. Aku meloncat dari jendela kamarku. Aku terdiam sejenak melihat rumah yang selama ini kutau itu rumahku untuk waktu yang lama. Tak sadar air mata menetes di kedua pipiku. Aku pasti merindukan rumah ini, bahkan takkan pernah kutempati lagi untuk seterusnya.Â
Aku berhasil kabur dari rumah tanpa ada seorangpun yang tau bahwa aku telah melarikan diri untuk selama-lamanya. Setelah jauh dari rumah langkah kakipun berhenti di halte tempat pemberhentian bus. Kakiku sangat lelah seakan tak kuat lagi untuk melangkah dan berlari. Akupun duduk berhenti untuk menunggu bus untuk pergi ke tempat yang bahkan aku tak tau hendak ke mana.Â
Namun, setidaknya aku sudah meninggalkan rumah yang akan selalu kurindukan itu. Sejenak melamun tanpa sadar air mata menetes lagi dan lagi di kedua pipiku. Rasanya aku ingin teriak dan berdiri di tengah jalan dan menunggu kendaraan yang lewat untuk menabrak ku hingga mati.
Lamunan dan rencana jahatku terbuyarkan oleh seorang bapak-bapak yang datang menghampiriku.
"Halo dek, ngapain kamu duduk di sini sepagi ini?" Tanya bapak-bapak yang memiliki badan kekar mengenakan jaket kulit berwarna hitam.
"Lagi nunggu bus, Pak" Lirihku sedikit takut.