"Benar. Abdul Rahman anak saya," jawab ayahku sambil meletakkan koran yang tengah dibacanya.
"Saya sudah mengirimkan paket berisi buku harian yang diminta Abdul Rahman. Kedatangan saya ke sini untuk memastikan apakah buku saya itu sudah sampai atau belum. Sekalian saya ingin bersilaturahmi ke sini," tutur gadis itu dengan ujung mata masih mencari-cari sesuatu.
"Kebetulan Abdul Rahman sedang mengantar ibunya berbelanja. Apakah mau ditunggu atau nanti menelepon saja?" tutur ayahku memberikan pilihan.
"Tadi saya lihat ada lelaki di samping rumah. Siapa dia, Om?"
Saat itu aku memang berada di samping rumah. Aku sedang menyirami tanaman bunga yang ditanam oleh ibu. Sayang sekali jika tanaman itu layu karena kurang air.
"O ... yang  itu kakaknya Abdul Rahman. Mereka saudara kembar," ucap ayah memberikan penjelasan.
Dialog seperti itu saya dengar beberapa kali. Bukan hanya sore itu ada gadis yang datang. Sore hari berikutnya demikian pula. Terkadang ada dua orang. Ada kalanya tiga orang. Pernah ada rombongan sampai tujuh orang.
"Sebenarnya kegiatan apa yang sedang engkau kerjakan?" tanya ayah pada malam kesepuluh setelah kedatangan gadis pertama yang mencari Abdul Rahman.
"Ketika saya di Surabaya, saya mendengar ada informasi bahwa remaja di Kaltim ada yang berhasil masuk nominasi pencarian bakat di salah satu stasiun televisi. Untuk itu, saya membuka lowongan untuk para remaja usia 18-25 tahun untuk mengikuti pembimbingan agar bisa sukses seperti orang-orang yang dipanggil ke Jakarta untuk adu bakat," ucap Abdul Rahman dengan bangga.
"Apakah para gadis itu kamu suruh datang ke sini?" tanya ibu serius.
"Tidak, Ibu. Mereka hanya saya minta mengirimkan 'buku harian' asli sebagai bahan untuk menentukan bakat apa yang dimiliki para remaja itu," urai adikku selanjutnya.