Aku peluk erat sekali saudara kembarku itu. Sementara Mukidi hanya melongo, kaget bercampur senang. Buru-buru ia berjalan ke dapur. Melihat hal itu, Abdul Rahman memanggilnya.
"Sebentar, saya buatkan dulu minuman selamat datang!"
Obrolan kami mengalir bak air bah di musim hujan. Ayah banyak bertanya mulai keberangkatan dari Surabaya. Abdul Rahman bercerita dengan panjang lebar seperti sedang berceramah di depan podium.
"Maaf, aku ada janji di kampus. Ada rapat persiapan seminar pekan depan. Nanti malam dilanjutkan ngobrolnya," ucapku seraya berdiri.
"Abang mau ke kampus?" tanya adikku.
"Iya," jawabku pendek sambil berjalan menuju ke kamarku yang sudah pindah ke depan.
Aku lirik adikku akan berbicara sesuatu tetapi aku tidak menghiraukannya. Masih banyak waktu nanti malam jika akan ngobrol atau tukar pendapat. Informasi dari ayahku barusan merupakan penegasan bahwa Abdul Rahman suka berdiskusi.
Hari-hari berikutnya merupakan hari-hari penuh silang pendapat. Ayahku memiliki pendapat tertentu. Adikku berbeda. Aku juga berbeda. Hanya ibuku yang berhasil menjadi penengah. Semua pendapat kami diramu oleh ibuku. Ibarat moderator dalam suatu seminar.
Pada hari kelima sejak kehadiran adikku bersama kami ada seorang gadis yang bertandang ke rumah kami. Hal itu belum pernah terjadi. Aku memang tidak suka didatangi kawan-kawan, khususnya gadis. Teman-teman kampusku selalu aku pesani bahwa tidak etis seorang gadis mendatangi rumah teman pria.
Tentu ayah kaget pada saat ada seorang gadis tiba-tiba muncul di hadapannya pada suatu sore.
"Benarkah Abdul Rahman tinggal di rumah ini, Om?" tanya gadis itu sambil melongok ke dalam rumah.