===
Suatu pagi yang cerah aku duduk-duduk di ruang baca. Ayah dan ibuku sudah berangkat kerja. Adikku, Abdul Rahman, pamit mau berolah raga ke lapangan tengah kota. Sendirianlah aku di rumah. Asisten rumah tangga kami izin menjenguk neneknya yang sakit di kampung.
Tanpa sengaja aku melihat ada sebuah buku harian yang tergeletak di atas meja. Sampulnya berwarna biru cerah. Ada gambar bunga-bunga kecil di sudut kover buku itu. Aku tertarik untuk mengambil buku itu. Tanpa pikir panjang segera kuraih dan kubuka halaman demi halaman.
Senja selalu membawa cerita
Sebongkah awan akan berduka
Jika Sang Surya tanpa beri pendar ceria
Awan akan berduka dalam kelana
Â
Akankah datang lagi
Sang Penerang esok hari
Dengan wajah berseri
Bawa pergi dan lari
Â
Kuncup Luka, 01-03-2018
Berulang-ulang aku baca puisi dua bait itu. Aku rasakan kondisi gadis yang sedang menulis puisi itu. Dia pasti dalam keadaan kurang bahagia. Kata-kata yang dirangkai sederhana tetapi aku merasakan sesuatu yang berbeda.
Bergegas aku cari alamat dan nomor HP gadis itu. Tidak perlu waktu lama aku sudah mendapatkan nomor HP gadis itu dalam buku harian tersebut. Â Dengan pelan mulai kutuliskan puisi di pesan WA sebagai jawaban dari puisi tersebut. Tidak banyak. Dua bait juga. Tidak lupa aku tuliskan nomor HP dan statusku.
Dua hari sejak kejadian itu, ayah mengajak kami berdiskusi lagi tentang kegiatan yang dilakukan adikku. Dengan mengebu-gebu ia bercerita tentang buku-buku harian yang dikirimkan para peminat kursus yang akan dijalankannya.
"Ada dua puluh peminat. Semuanya gadis. Padahal saya tidak membatasi. Memang yang biasa menulis buku harian itu para wanita, jadi wajar kalau hanya wanita yang kirim buku harian," celoteh Abdul Rahman disertai gerak tangan yang ekspresif.
"Selanjutnya, apa yang akan kamu lakukan?" tanya ibu penasaran.
"Sebentar, Ibu. Saya lanjutkan cerita saya dulu. Dua puluh buku harian itu bermacam-macam isinya. Ada yang cerita ia hobi bermain basket. Ada yang suka pergi ke mal. Ada yang hobi memancing. Ada yang suka membaca novel. Kemudian ada satu yang hobi menulis puisi. Satu buku penuh berisi puisi semua. Di akhir setiap puisi ia tulis nama samaran 'Kuncup Luka'. Kemudian ada pula yang hanya bercerita kesibukannya di dapur membantu ibunya memasak," celoteh adikku dengan semangat.
Tatkala diskusi sedang berlangsung, sebuah pesan WA masuk. Untaian kata dalam bait-bait puisi aku baca. Pada bagian akhir tertulis nama samaran 'Kuncup Luka'. Aku tersenyum membaca puisinya.
Keesokan harinya 'Kuncup Luka' datang ke rumah kami. Aku menyambut dengan gembira. Dalam hati aku berkata, nekat sekali gadis itu mendatangi 'Kumbang Jantan', nama samaranku dalam menulis puisi.