Mohon tunggu...
Widya Widya
Widya Widya Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia Biasa

Hallo :)

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Refleksi Ramadhan: Ustadz Juga Harus Ngaji

2 April 2022   12:27 Diperbarui: 2 April 2022   12:43 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Rabu malam kamis kemarin, kampus mengadakan tabligh akbar penyambutan bulan suci Ramadhan dan kami diwajibkan untuk datang ke masjid mengikuti kajiannya. Kajian di isi oleh seroang dai' muda dan kondang yang dijuluki ustaz cinta..

Temanya Menyambut Ramadhan dengan cinta, tapi yang mau aku tulis salah satu ceramah beliau ini.

Manurut ustaz cinta, ada 4 ciri bahagia;

1. mempunyai pasangan yang shalih

2. Tetangga yang shalih

3. teman-teman yang shalih

4. dapat bekerja di negeri sendiri.

Sebenarnya, dalam kalimat-kalimat di atas rasanya sudah ideal bagi kita seorang muslim. Tapi, coba baca berulang-ulang kalimatnya.

Kenapa pasangan harus jadi tolok ukur bahagia? Kenapa harus punya teman dan tetangga shalih dlu baru dilihat sebagai pribadi yang bahagia? dan keapa kerja di negeri sendiri juga tolok ukur bahagia menurut ustaz cinta?

Menurut uztadz tersebut, kenapa pasangan menjadi ukuran baagia seseorang, karena banyak orang salah pilih pasangan makanya kawin cerai. Eits,, tunggu deh... Buakannya cerai itu suatu hal yang dibolehkan, walaupun dibenci oleh Allah. Dan menurut saya pribadi, kalau memang salah pilih, dan akhirnya cerai, bukan kawin cerai nya yang salah, tetapi mindset awal kita dalam memilih pasangan hidup.

Banyak dari kita, utamanya para wanita masih terikat dengan tuntutan orang-orang zaman dulu.. Yang harus menikah bukan karena memang sudah mampu membina rumah tangga, tetapi karena tuntutan, baik keluarga, tuntutan dari lingkungan dia tinggal, tuntutan karena teman-temannya semua sudah menikah jadi dia juga harus menikah. Banyak orangtua menyuruh sang anak menikah karena hal-hal itu, tapi jika si anak tidak memiliki pondasi ilmu yang cukup kuat untuk berumah tangga, jangankan bahagia yang akan datang.

Lagian bukahkah menikah memang bukan untuk bahagia?

Teman-teman dan tetangga juga penting krn kalau ga shalih takutnya ngebawa kita ke jalan yang salah. Saya pribadi,, tidak menyanggah soal ini, tapi harus dilihat lagi, bagaimana ukuran shalih itu sendiri, karena banyak persepsi dari kata shalih...

Misalnya ukuran shalih hanya sebatas dia rajin shalat, rajin puasa, berbakti sama orangtua dan mengajak hal-hal seperti itu, bagi saya pribadi saya tidak setuju dengan ukuran bahagia adalah teman dan tetangga shalih.

Kenapa?

Jika saya harus punya teman dan tetangga yang buat jadi tolok ukur apakah saya bahagia dengan ukuran mereka, maka begini konsep shalih dari saya:

Saya ingin, teman-teman dan tetangga saya, selain jago dalam urusan akhirat, dia juga mau nih berkembang di dunia. Misalnya, saya akan menambahkan poin-point seperti: peduli lingkungan dan selalu ada action plan buat wujudin lingkungan yang ga Cuma bersih, aman dan nyaman tapi juga berkelanjutan. Apa maksud berkelanjutan di sini? Bagi saya saat ini, saya ingin berada di sekitar mereka yang yang sudah komitmen mengurangi sampah dan bijak mengolahnya. Saya ingin teman-teman dan tetangga saya kelak punya MINDSET yang terbuka, yang bukan hanya soal akhirat saja, tapi soal dunia juga oke. Karena saya sadar sebagai khalifah yang ditakdirkan Allah di bumi, bukankah kita harus mewujudkan kehidupan yang lebih baik dari segala aspek?

Nah kalau ukuran bahagia menurut point 4, saya sudah tidak setuju dari awal.

Menurut saya, ini pemikiran yang terlalu sempit. Ada banyak faktor dan alasan kenapa saya bilang begitu. Pertama, kita tahu bahwa kompetisi selalu ada, dan kalau kita tidak punya spesifikasi yang cukup, akan sulit bagi kita bekerja di perusahaan yang kita inginkan. Tentunya ada posisi-posisi di perusahaan yang tidak terlalu membutuhkan keahlian, tapi biasanya pekerjaan seperti ini tidak terlalu banyak penghasilannya.

Dengan ukuran bahagia yang seperti itu, mau tidak mau, suka tidak suka bekerja apa saja dengan gaji berapa saja juga sudah bahagia. Tapi bagi saya pribadi itu bukan hal yang membahagiakan. Itu mengekang!

Bagaimana bahagia versi saya jika ukurannya adalah pekerjaan?

Bagaimanapun, saya ingin bekerja di perusahaan yang bisa memberikan gaji dan tunjangan sesuai dengan value saya. Jadi saya harus punya nilai dulu, harus punya keterampilan dulu sehingga saya bisa memperoleh pekerjaan dan posisi yang saya inginan. Walaupun pekerjaan itu menuntut saya jauh dari keluarga tapi jika saya senang dengan pekerjaan itu, ya saya bahagia. Memang jika dekat keuarga pikiran akan tenang, tapi jika ada peluang kehidupan yang lebih baik di masa depan, mengapa kita takut mengambil resiko tersebut?

Hidup itu harus berani mengambil resiko, dan kemauan belajar sangat dibutuhkan dalam setiap prosesnya agar kita menjadi orang yang lebih baik di hidup kita.

Menurut saya, kita tidak bisa menetapkan ukuran bahagia kita untuk seseorang, sekalipun dia seorang ustaz. Apalagi, ustaz2 inilah yang saya lihat kata-katanya diikuti oleh ummat. Maksudnya bagus tapi kalau kalimatnya dicerna lebih dalam bisa bermakna ganda yang menurut saya bisa berakibat fatal.

Bisa jadi, ada orang belum punya pasangan karena sedang sibuk berjuang memperbaiki hidupnya, ada hutang yang harus dilunasinya, karena dia tahu konsekuensi menikah bukan hanya persoalan cinta-cintaan doang,

Ada orang yang dia tidak punya teman, ternyata lingkungan dia tinggal memang ga mendukung dia, lingkungannya toxic, atau ada yang punya teman shalih selalu ngajakin shalat, puasa zakat tapi urusan dunia mereka ga pernah ngajak tumbuh bareng. Hanya di situ-situ aja. Bukan sih so ahli duniawi, tapi realistis lah, dalam kehidupan didunia pun kalau kita ingin hidup dengan lebih baik kita juga harus berkembang kan?

saya bilang fatal di sini, karena bisa-bisa orang jadi membandingkan ukuran dirinya dengan orang lain, mungkin awalnya dia sudah merasa oke saja dengan hidupnya yang sekarang, tapi kemudian karena membaca/mendengar tausiyahnya dia jadi minder karena masih blm punya pasangan, dia kemudian jadi merasa sedih karena pekerjaannya mengharuskan dia tinggal dari negerinya..

Jadi yang mau saya bilang, please lah para ustaz yang ngakunya gaul, yang ngakunya ini itu,, please banget.. pilih-pilih tema tausiyah yang mau dikasih ke ummat, karena ga semua umma mau berfikir kritis dan memilah informasi..

Peran ustaz dan ulama, saya kira tidak hanya ceramah soal agama saja. Tapi membentuk karakter ummat dengan mindset yang terbuka juga bagian dari tugasnya. Walaupun tentu saja, itu juga tugas kita bersama sebagai ummat.

Jadi, mumpung bulan ramadhan ini, yuk sama-sama kita belajar lagi, ngaji lagi sama para pendahulu bagaimana membentuk pola pikir/mindset ummat.. karena kita hidup di dunia juga butuh ilmunya. Sebagaimana dalam hadits "barangsiapa menginginkan dunia dengan ilmu, barang siapa menginginkan akhirat dengan ilmu, dan barangsiapa menginginkan dunia dan akhirat dengan ilmu." HR. Ahmad

Dengan mindset yang terbuka, kita akan melihat banyak hal yang berbeda dari sudut pandang yang mungkin sebelumnya tidak kita sentuh di sana. Sikap terbuka terhadap berbagai hal akan membantu kita berfikir kritis dan menuntun kita menjadi pribadi yang kuat secara fisik dan mental. Kemudian dengan mindset yang terbuka itulah kita juga harus bergerak dan tumbuh lebih baik. Ini bukan lagi soal berfikiran terbuka, tapi juga berfikir untuk tumbuh menjadi lebih baik. Saya rasa, inilah manusia islam yang seutuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun