Di kampung saya dulu, menjelang lebaran warga desa sibuk merapikan rumah masing-masing. Kebanyakan mengecat dinding depan, atau ada pula yang menambah perabotan.
Di kota pun tak jauh berbeda-beda, fenomena serupa bisa ditemukan. Masyarakat memang mencintai keindahan, baik di pedesaan maupun urban.
Gejala ini tentu saja positif selagi dianggap sebagai ikhtiar untuk mengalami perubahan. Artinya, manusia butuh momentum untuk mengarah kepada perbaikan. Setidaknya ada kesadaran untuk beralih kepada sesuatu yang lebih indah, dan lebih baik semoga.
Jangan sekadar rumah
Namun, yang perlu dicermati adalah bahwa penampilan fisik (yang disimbolkan rumah) jangan melulu yang jadi pusat perhatian. Ramadan adalah bulan peleburan, bukan cuma dosa dan kesalahan melainkan egoisme dan kesombongan.
Implikasinya, coba telisik lebih dalam tentang hal-hal mendasar yang juga butuh dirapikan. Intiplah bilik-bilik memori yang sudah berdebu oleh fragmen masa lalu yang sebenarnya tak layak dikenang, apalagi diabadikan.
Dendam pada teman, rasa dengki terhadap saudara, dan rasa marah pada orang lain harus dihapuskan. Adalah bodoh menyimpan kesumat iri atau kecamuk dendam akibat perselisihan di masa silam sementara orang itu mungkin sudah melupakan.
Merusak diri sendiri
Bukankah konyol jika kita mempertahankan kemuraman masa lalu yang kontraproduktif dengan kondisi kekinian yang menuntut semuanya serbasimpel dan praktis? Alih-alih menikmati hidup, kita malah bisa hancur berantakan.
Ya, kewarasan mental yang kita bicarakan. Semua dimulai dari memperbaiki pekerti dan memulihkan hati yang tersakiti. Galau boleh, jangan berkepanjangan sebab bisa berpotensi merusak keimanan. Gundah gulana tidak mengapa, tapi usahakan punya sandaran.Â
Titik balik bernama RamadanÂ
Sekaranglah saatnya untuk membenahi kemelut dalam hati, untuk membangun sifat kemaafan yang disukai Tuhan. Sebagaimana doa yang kita panjatkan selama 10 hari terakhir di penghujung Ramadan:
Allaahumma innaka 'afuwwun kariim. Tuhibbul 'afwa fa'fu 'anniy. // Ya Allah ya Tuhanku, sungguh Engkau Maha Pemaaf dan mencintai kemaafan. Maka maafkanlah aku.
Memaafkan tanpa syarat, bisakah? Melupakan tanpa keganjalan, mungkinkah? Semua bisa, semua mungkin sebab begitulah kita diajarkan. Melepaskan apa yang seharusnya, merelakan apa yang sudah semestinya. Toh kita tidak pernah memiliki apalagi menguasai.