Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

New World Pilihan

Fenomena 'Elite Kepala Busuk'

7 Oktober 2025   09:44 Diperbarui: 7 Oktober 2025   09:44 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Elite Kepala Busuk (SPY/SUPRRIYANTO/KOMPAS.ID)

"Anak Ekor Busuk" dan "Elite Kepala Busuk" yang Identik Menjadi Beban Ekonomi

Kita tengah menghadapi krisis kepakaran dalam konteks "elite kepala busuk" jika tak layak disebut penolakan bahkan penghapusan atas meritokrasi atau kekeliruan fatal dalam merekrut posisi-posisi penting pejabat publik, yang tidak ditempatkan melalui rangkaian "fit and proper test", melainkan berdasar rekam jejak dan surveillance belaka.

Sebagian besar masyarakat membaca krisis tersebut secara tersirat maupun tersurat melalui sederet nama pejabat, yang  public speaking-nya kerap dinilai tidak etis, kemampuan yang ditunjukkan cenderung emosional, kebijakan yang dikeluarkan tidak masuk akal, respons anti kritik atas kinerja yang dikritik hingga identitas akademik yang terus dipertanyakan publik.    

Sebelum masuk ke fenomena "elite kepala busuk", ada baiknya terlebih dulu memahami istilah "anak ekor busuk", yakni gelar yang didapat generasi muda di China yang digambarkan sebagai lulusan perguruan tinggi atau sarjana yang terpaksa bekerja dengan gaji rendah dan bergantung pada orang tua, lantaran tidak mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan pendidikan mereka.

Istilah "anak ekor busuk" sendiri diambil dari sebutan "gedung ekor busuk" yang ditujukan terhadap proyek perumahan mangkrak dan menjadi beban ekonomi China sejak 2021.

Di sini anak ekor busuk berarti diibaratkan gedung atau proyek perumahan mangkrak yang menjadi beban ekonomi pemerintah China, sebab identik dengan banyaknya (anak) lulusan perguruan tinggi atau sarjana, yang masih menjadi beban orang tua (keluarga) dalam hal keuangan. 

Salah satu faktor terbesar munculnya fenomena "anak ekor busuk" adalah ketidakcocokan antara pasokan dan permintaan sumber daya manusia. Artinya, ketersediaan lapangan kerja tidak sesuai dengan sumber daya yang ada.

Selain itu, meskipun telah mendapatkan pendidikan vokasi, sulit bagi lulusan baru untuk memperoleh pekerjaan dengan standar gaji yang mencukupi. Sebab banyak lowongan kerja yang mencantumkan syarat-syarat menyulitkan. 

Misalnya, banyak perusahaan mencari kandidat yang sudah berpengalaman. Sebagai lulusan baru, yang tidak atau belum memiliki pengalaman, perusahaan akan menolak dengan alasan tidak memiliki sumber daya untuk melatih karyawan baru, atau bila tanpa pengamalan maka gaji yang ditawarkan sangat rendah.

Oleh sebab itu, sebagian besar lulusan perguruan tinggi atau sarjana lebih memilih mundur dari persaingan kerja hiperkompetitif dan tidak bersedia kerja di luar kompetensi pendidikannya, apalagi bergaji rendah. 

Sementara sejumlah yang lain terpaksa menerima posisi yang sama sekali bukan bidang ilmunya, dengan gaji yang sangat rendah dan tidak mencukupi kebutuhan. Tapi apa hubungan fenomena "anak ekor busuk" dengan fenomena "elite kepala busuk"?

Jika anak ekor busuk menjadi beban ekonomi orang tua (keluarga) karena kemampuan (kompetensi akademik) yang dimilikinya, diujung kelulusannya (ekor) tidak bisa menjamin hidup layak karena sulitnya mendapat pekerjaan, maka elite kepala busuk cenderung merupakan perihal sebaliknya, dan menjadi beban ekonomi negara dalam konteks distribusi pajak rakyat yang tidak tepat. 

"Elite Kepala Busuk", Fenomena yang Lahir dari Ruang Demokrasi yang Rusak  

Menurut Cambridge Dictionary, "elite" adalah "kelompok terkaya, terkuat, terdidik terbaik, atau terlatih terbaik dalam suatu masyarakat."Dalam demokrasi, elite merujuk pada pejabat pemerintah atau pejabat publik yang terpilih atau dipilih seusai pesta demokrasi.

Namun faktanya, elite pejabat yang tampil sampai hari ini terindikasi tidak berkesesuaian dengan makna elite sesungguhnya. Berdasar kilas balik atas peristiwa demonstrasi yang terjadi pada 25 Agustus 2025 dalam rangka memprotes tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang pecah akibat ketidaketisan perilaku anggota DPR saat menerima informasi terkait kenaikan tunjangan dan respons yang justru menantang terhadap kritik. Rakyat semakin paham bahwa para elite pejabat tidak memiliki bekal meritokrasi.

Sehingga kemampuannya tiba di status elite tidak ditujukan untuk kepentingan, keadilan dan kesejahteraan rakyat, melainkan cenderung untuk kepentingan dan mencari sebanyak-banyaknya keuntungan diri dan kelompoknya. Inilah akar penyebab lahirnya fenomena "elite kepala busuk". Lantas apa indikasi dan penyebab lahirnya fenomena "elite kepala busuk"?

Berangkat dari narasi yang berkembang dalam setiap polemik dan debat atas kritik pada bidang apa pun di ruang-ruang publik, yang selalu berujung dengan argumentasi bantahan "yang menang" dan "yang kalah" merujuk pada hasil akhir pemilu, bukan membantah substansinya, kritik apa pun atau dari siapa pun datangnya, akan dikatakan sebagai barisan sakit hati karena orang yang didukungnya kalah, adalah cara-cara berpikir dangkal yang menunjukkan isi otak yang busuk (kepala busuk) sejak awal.

Sebab kritik untuk menuntut keadilan, kebenaran dan kesejahteraan bagi rakyat dalam demokrasi selalu diukur oleh siapa pemenang pemilu. Jadi siapa pun rakyat (pihak) yang melakukan kritik akan cenderung dianggap sebagai aksi yang dibuat-buat atau ada beking (yang kalah) di belakangnya. Di sini, eksistensi dan esensi rakyat sebagai warga negara dalam berbangsa dan bernegara diabaikan. 

Rakyat netral dianggap nihil. Semua persoalan selalu ditarik ke dalam konteks menang dan kalah. Bukan baik dan buruk atau benar dan salah. Bahkan framing menang dan kalah telah menjalar ke benak banyak tokoh intelektual atau profesional, yang seharusnya menjunjung tinggi nilai kesadaran logis dalam cara beripikir kritis.  Mengapa hal bisa ini terjadi? 

Kembali pada proses berdemokrasi yang bisa dikatakan rusak, yang ditandai dengan menurunnya indeks demokrasi Indonesia. Seperti dalam laporan "Democracy Index 2023: Age of Conflict" yang dirilis Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia berada di peringkat ke-56 dengan skor 6,53, turun dua tingkat dari tahun 2022 (skor 6,71). Dengan skor tersebut, demokrasi Indonesia masuk dalam kategori cacat (flawed democracy).

Kondisi yang sama ditunjukkan oleh data dari Freedom House, dimana nilai indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 pada tahun 2019 menjadi 57 pada tahun 2024. Lembaga yang berbasis di AS tersebut mencatat sejumlah isu kunci, salah satunya terkait politik dinasti yang dilancarkan dengan berbagai "siasat".

Ruang demokrasi rusak inilah yang pada akhirnya melahirkan "elite kepala busuk", yang diawali dari fase keterpilihan dan pemilihan pejabat tanpa adanya pembekalan kompetensi politik, kepakaran atas suatu bidang, kemampuan berbasis kecerdasan maupun potensi, kinerja, integritas, moralitas dan kesesuaian kualifikasi. 

Kerusakan ruang demokrasi membuat keterpilihan pejabat termasuk legislator dimulai dari sistem kaderisasi partai hingga ke pengajuan pencalonan yang tidak memadai dan minim pembekalan kompetensi, serta lebih didominasi oleh besaran setoran maupun elektabilitas yang dimiliki oleh tokoh populer seperti artis, pengusaha atau pebisnis, influencer dan tokoh semacamnya. 

Kemudian secara instan besaran 'mahar politik', 'uang perahu' atau bahasa halusnya sumbangan dana politik yang bisa disetorkan pada partai maupun elektabilitas yang dimiliki tokoh populer akan berpotensi mengusungnya ke daftar urutan teratas dalam proses pencalonan wakil rakyat atau pemimpin seperti gubernur, bupati, walikota, bahkan presiden dan wakil presiden.    

Pengakuan Aurelie Moeremans, artis keturunan Belgia, melalui video di Instagram tentang tawaran perekrutan atau bergabung ke dalam satu partai politik adalah sebuah kenyataan yang membuka kebusukan pikiran (kepala busuk) elite sudah terjadi sejak awal. Sebab di tahap awal rekrut keanggotaan partai saja sudah terbukti tidak berdasarkan kaderisasi berbasis meritokrasi tetapi lebih mengandalkan setoran atau elektabilitas (popularitas).     

Kemudian masuk ke proses pemilihan untuk kemenangan peraihan suara juga cenderung menggunakan money politics (beli suara), black campaigne, kongkalikong mencoblos surat suara cadangan, mobilisasi pemilih yang mengklaim masuk dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan cara curang lainnya--merupakan fakta atas peristiwa yang sudah menjadi rahasia umum walaupun memang sulit dibuktikan ketika masuk ke ranah hukum.

         

Meritokrasi yang Tergantikan oleh Ruang Demokrasi yang Sistemnya Rusak

Pada tahap berikutnya, para elite pejabat dipilih oleh paket pemenang pemilu, yang dalam prosesnya sangat dipengaruhi oleh partai koalisi. Lebih dari itu, ada indikasi kuat bahwa bagi-bagi kue (jatah) pemenangan politik dalam konteks penempatan posisi pejabat di Kementrian, BUMN atau pejabat tinggi di lembaga lainnya tidak dipilih dengan mengacu pada kapasitas dan kapabilitas kemampuan atau kepakarannya, tetapi berdasar persentase jumlah pemenangan suara melalui klaim poin-poin pemenangan pemilu antara lain:  

1. Kesepakatan (transaksi) politik melalui bargaining politik di awal. Klaim berdasar transaksi politik ini terindikasi adanya tawar-menawar di awal jelang penentuan persetujuan untuk berkoalisi. Tawar-menawar yang tentunya menghasilkan jatah kursi jabatan di pemerintahan atau jatah politik dalam bentuk lainnya atas kemenangan politik.   

2. Politik sandera yang menghasilkan barter politik. Istilah politik sandera merujuk pada penggunaan instrumen hukum atau perkara hukum untuk menekan lawan politik atau pihak yang berseberangan. Praktik ini belakangan kerap digunakan untuk mendapatkan barter agar jatah politik hanya diberikan pada diri atau kelompok penyandera. Atau setidaknya, mengamankan kepentingan diri dan kelompok penyandera.   

3. Utang politik atas jasa politik yang melahirkan para 'penjasab' (penagih jasa atas budi) sehingga sering disebut balas budi politik. Kehadiran relawan politik atau tim pemenangan di luar kepartaian dengan identitas penggunaan kata pro, mania, solidaritas, alap-alap, pasukan, penggunaan angka atau lainnya, yang belakangan muncul adalah salah satu yang bisa disebut sebagai penjasab politik.

Faktanya, terdapat nama-nama relawan, baik yang terafiliasi dengan kepartaian maupun tidak, kini menduduki jabatan penting di pemerintahan. Bukti lain timbulnya penjasab politik dari eksistensi relawan politik adalah adanya permintaan jabatan dari para relawan baik secara terselebung maupun terang-terangan, hal ini mengindikasikan bahwa jasa yang mereka lakukan adalah utang jasa politik atas budi politik yang harus dibayar oleh pemenang pemilu.  

4. Relasi kelompok sekepentingan dan akomodasi politik yang menciptakan keputusan atas prinsip kekeluargaan atau pertemanan, yang juga melahirkan proses pemilihan jabatan berdasar nama-nama titipan seseorang atau pesanan kelompok tertentu, ikut melenyapkan meritokrasi.

Proses klaim posisi jabatan melalui transaksi politik, politik sandera, utang politik, relasi kelompok sekepentingan dan akomodasi politik, yang sebagian besarnya telah menggantikan cara-cara meritokrasi dalam menentukan jabatan penting di pemerintahan merupakan bagian dari ruang demokrasi yang sistemnya rusak.

Ruang demokrasi yang sistemnya rusak berikut dampaknya pada pemilihan posisi-posisi jabatan penting yang diisi bukan oleh pakarnya atau kualifikasi yang tidak sesuai penempatannya bahkan cenderung tidak memiliki kompetensi, potensi, kinerja, integritas, moralitas, sangat berpotensi sudah menjadi kepala busuk sejak awal. 

Ini Alasan Mengapa Harus Kepala Busuk? 

Ada pepatah yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto pada saat menyampaikan pengarahan terkait antikorupsi di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah. 

Prabowo ketika itu menyampaikan, "Ada pepatah mengatakan, kalau ikan menjadi busuk, busuknya mulai dari kepala". Artinya, baik atau buruknya suatu lembaga dan negara akan berasal dari pemimpinnya. Maka bila suatu lembaga buruk atau busuk, busuknya berasal dari pimpinan.

Namun bila dicermati pada cara menentukan pilihan kepemimpinan di Kementrian, BUMN dan di berbagai lembaga pemerintahan pada era Presiden Prabowo Subianto, yang terindikasi ditentukan oleh transaksi politik, politik sandera, utang politik dan relasi kelompok sekepentingan serta akomodasi politik berbasis prinsip kekeluargaan atau pertemanan--pepatah ikan busuk dari kepala justru terkesan menjadi paradoks.

Sebab faktanya, sebagian besar proses penentuan jabatan (pimpinan/kepala) tidak melalui fit and proper test atau tidak mengacu pada kapasitas dan kapabilitas kemampuan (kepakaran) juga cenderung ditempatkan tidak sesuai dengan kualifikasi, tidak memiliki kompetensi, potensi, kinerja, integritas, moralitas (ketiadaan meritokrasi), yang artinya proses kebusukan kepala ikan sebenarnya sudah dimulai sejak awal.

Awal busuknya kepala tidak hanya beranjak dari proses penentuannya. Seperti diuraikan di atas bahwa pada proses kaderisasinya saja, calon atau kandidat pejabat diperoleh secara instan melalui berapa besaran dana sumbangan yang bisa disetorkan atau hanya lewat elektabilitas calon. 

Selain itu, ada tawar-menawar politik yang tentu saja cenderung tidak mengindahkan meritokrasi. Ada politik sandera, yang indikasinya jelas terkait penyanderaan atas instrumen atau perkara hukum. Bukankah mengakal-akali hukum untuk sebuah kepentingan adalah perbuatan tercela (busuk)?

Ada utang politik, yang di dalamnya terdapat balas budi politik, salah satunya merujuk pada orang-orang yang berjasa (relawan) atas pemenangan pemilu. Ironinya, mereka menjadi penjasab dengan meminta jabatan atas jasa mereka dalam memenangkan pemilu. 

Dan beberapa di antaranya, sudah mendapatkannya tanpa proses meritokrasi, malah seperti terbaca melakukan coating sugar bila tak boleh disebut menjilat (penjilat). Tetapi yang patut dicermati adalah bahwa kehadiran penjasab politik, menunjukkan arti relawan sudah keluar dari kesukarelaannya. Di sini ada potensi kepala busuk sejak awal. 

Kemudian ada relasi kelompok sekepentingan serta akomodasi politik berbasis prinsip kekeluargaan atau pertemanan, yang potensial memunculkan perbuatan nepotisme dan kolusi di balik penentuan pemilihan jabatan di pemerintahan, yang terkandung di dalamnya potensi pula, ada kepala busuk sejak di awal. 

Pada akomodasi politik misalnya, banyak terbaca dalam rekam jejak digital tentang orang-orang hingga kelompok yang awalnya menentang, membenci, menghujat bahkan memberi award kebohongan terhadap paket pemenang pemilu hingga ada yang pernah bersumpah tidak akan berpaling, tetapi nyatanya kini mengisi posisi-posisi jabatan penting. Apakah dari rekam jejak mereka tidak patut disebut kepala busuk? 

Jadi, antara pepatah 'ikan busuk dari kepala' yang diungkapkan untuk memberikan informasi tentang keburukan (kebusukan) dimulai dari pimpinan (kepala) dengan proses penentuan atau pemilihan pejabat (kepala atau pimpinan) yang tidak berbasis fit and proper test atau tidak melalui meritokrasi merupakan kontradiksi yang nyata terjadi. Sehingga kontradiksi ini sangat berpotensi pada banyak pejabat, yang menerima jabatannya dengan membawa 'kepala busuk' sudah sejak awal.        

Lahirnya Fenomena "Elite Kepala Busuk"

Uraian mengenai fenomena "anak ekor busuk" yang menjadi beban ekonomi orang tua (keluarga) dan keidentikannya dengan fenomena "elite kepala busuk", yang tidak layak berada di posisinya hingga potensial membawa kepala busuk sejak awal dan pada akhirnya akan menjadi beban negara serta memberi beban pada rakyat atas pajak yang dibayarkan, adalah fenomena yang lahir dari ruang demokrasi  rusak.

Transparency International pada 30 September 2025 menurunkan artikel berjudul "Komisaris 'Rasa' Politisi; Perjamuan Kuasa di BUMN", tulisan ini merupakan hasil riset yang menyoroti Komisaris BUMN dipenuhi oleh birokrat dan politisi. 

Dari keseluruhan BUMN dan anak usahanya didapat 562 jabatan komisaris,  dalam komposisi haril risetnya memperlihatkan bahwa komisaris dengan latar belakang birokrat dan politisi sangat dominan di BUMN, yaitu sebesar 60%. 

Transparency International lalu menemukan bahwa dari 60%, yakni 165 politisi yang menempati jabatan komisaris di BUMN terdiri dari kader atau anggota partai politik 109 kursi dan kelompok relawan politik 56 kursi. 

Dari riset tersebut TI Indonesia menemukan fakta bahwa jumlah jabatan komisaris BUMN pada dasarnya tidak mengalami pengurangan sebagaimana disampaikan oleh Presiden. Yang terjadi justru proses due diligence komisaris dilakukan secara serampangan tanpa mengindahkan aspek kapasitas/pengetahuan yang memadai, termasuk potensi konflik kepentingan akibat praktik rangkap jabatan baik di kementerian maupun birokrasi yang mengaburkan batas antara fungsinya apakah sebagai regulator atau eksekutor.

Hasil data riset TI tentang komisaris BUMN, sepertinya tidak akan jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Kementrian dan lembaga lainnya, yang secara overtcover terbaca melalui poin-poin klaim atas pemenangan pemilu, yang lagi-lagi tanpa fit and proper test dan meniadakan meritokrasi.

Sebab fakta lain menunjukkan bahwa di tengah narasi efisiensi anggaran ada paradoks terhadap jumlah Kementrian dengan pimpinan dan wakil-wakilnya yang mengalami penggemukan hingga ada yang menyebutnya sebagai kabinet gemuk. Hal ini menjadi indikasi kuat bagi klaim poin relasi kelompok sekepentingan dan akomodasi politik untuk mendapatkan jatah politik.          

Jadi 'elite kepala busuk' adalah gelar yang layak disandang oleh pejabat penting di pemerintahan yang digambarkan sebagai orang yang tanpa proses meritokrasi apalagi fit and proper test, mengisi jabatan penting (dipilih dan ditempatkan) melalui poin-poin klaim pemenangan pemilu, yang dalam kinerjanya tidak memiliki Key Performance Indicator (KPI), tapi ujungnya diberi gaji, tunjangan, tantiem hingga pensiun yang sangat besar.

                 

Referensi

https://greennetwork.id/gna-knowledge-hub/menurunnya-indeks-demokrasi-indonesia/

https://ti.or.id/komisaris-rasa-politisi-perjamuan-kuasa-di-bumn/

https://www.cnbcindonesia.com/news/20250816103917-4-658658/petaka-baru-di-china-muncul-fenomena-anak-dengan-ekor-busuk

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun