Ruang demokrasi rusak inilah yang pada akhirnya melahirkan "elite kepala busuk", yang diawali dari fase keterpilihan dan pemilihan pejabat tanpa adanya pembekalan kompetensi politik, kepakaran atas suatu bidang, kemampuan berbasis kecerdasan maupun potensi, kinerja, integritas, moralitas dan kesesuaian kualifikasi.Â
Kerusakan ruang demokrasi membuat keterpilihan pejabat termasuk legislator dimulai dari sistem kaderisasi partai hingga ke pengajuan pencalonan yang tidak memadai dan minim pembekalan kompetensi, serta lebih didominasi oleh besaran setoran maupun elektabilitas yang dimiliki oleh tokoh populer seperti artis, pengusaha atau pebisnis, influencer dan tokoh semacamnya.Â
Kemudian secara instan besaran 'mahar politik', 'uang perahu' atau bahasa halusnya sumbangan dana politik yang bisa disetorkan pada partai maupun elektabilitas yang dimiliki tokoh populer akan berpotensi mengusungnya ke daftar urutan teratas dalam proses pencalonan wakil rakyat atau pemimpin seperti gubernur, bupati, walikota, bahkan presiden dan wakil presiden. Â Â
Pengakuan Aurelie Moeremans, artis keturunan Belgia, melalui video di Instagram tentang tawaran perekrutan atau bergabung ke dalam satu partai politik adalah sebuah kenyataan yang membuka kebusukan pikiran (kepala busuk) elite sudah terjadi sejak awal. Sebab di tahap awal rekrut keanggotaan partai saja sudah terbukti tidak berdasarkan kaderisasi berbasis meritokrasi tetapi lebih mengandalkan setoran atau elektabilitas (popularitas). Â Â Â
Kemudian masuk ke proses pemilihan untuk kemenangan peraihan suara juga cenderung menggunakan money politics (beli suara), black campaigne, kongkalikong mencoblos surat suara cadangan, mobilisasi pemilih yang mengklaim masuk dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan cara curang lainnya--merupakan fakta atas peristiwa yang sudah menjadi rahasia umum walaupun memang sulit dibuktikan ketika masuk ke ranah hukum.
     Â
Meritokrasi yang Tergantikan oleh Ruang Demokrasi yang Sistemnya Rusak
Pada tahap berikutnya, para elite pejabat dipilih oleh paket pemenang pemilu, yang dalam prosesnya sangat dipengaruhi oleh partai koalisi. Lebih dari itu, ada indikasi kuat bahwa bagi-bagi kue (jatah) pemenangan politik dalam konteks penempatan posisi pejabat di Kementrian, BUMN atau pejabat tinggi di lembaga lainnya tidak dipilih dengan mengacu pada kapasitas dan kapabilitas kemampuan atau kepakarannya, tetapi berdasar persentase jumlah pemenangan suara melalui klaim poin-poin pemenangan pemilu antara lain: Â
1. Kesepakatan (transaksi) politik melalui bargaining politik di awal. Klaim berdasar transaksi politik ini terindikasi adanya tawar-menawar di awal jelang penentuan persetujuan untuk berkoalisi. Tawar-menawar yang tentunya menghasilkan jatah kursi jabatan di pemerintahan atau jatah politik dalam bentuk lainnya atas kemenangan politik. Â Â
2. Politik sandera yang menghasilkan barter politik. Istilah politik sandera merujuk pada penggunaan instrumen hukum atau perkara hukum untuk menekan lawan politik atau pihak yang berseberangan. Praktik ini belakangan kerap digunakan untuk mendapatkan barter agar jatah politik hanya diberikan pada diri atau kelompok penyandera. Atau setidaknya, mengamankan kepentingan diri dan kelompok penyandera. Â Â
3. Utang politik atas jasa politik yang melahirkan para 'penjasab' (penagih jasa atas budi) sehingga sering disebut balas budi politik. Kehadiran relawan politik atau tim pemenangan di luar kepartaian dengan identitas penggunaan kata pro, mania, solidaritas, alap-alap, pasukan, penggunaan angka atau lainnya, yang belakangan muncul adalah salah satu yang bisa disebut sebagai penjasab politik.