Sementara sejumlah yang lain terpaksa menerima posisi yang sama sekali bukan bidang ilmunya, dengan gaji yang sangat rendah dan tidak mencukupi kebutuhan. Tapi apa hubungan fenomena "anak ekor busuk" dengan fenomena "elite kepala busuk"?
Jika anak ekor busuk menjadi beban ekonomi orang tua (keluarga) karena kemampuan (kompetensi akademik) yang dimilikinya, diujung kelulusannya (ekor) tidak bisa menjamin hidup layak karena sulitnya mendapat pekerjaan, maka elite kepala busuk cenderung merupakan perihal sebaliknya, dan menjadi beban ekonomi negara dalam konteks distribusi pajak rakyat yang tidak tepat.Â
"Elite Kepala Busuk", Fenomena yang Lahir dari Ruang Demokrasi yang Rusak Â
Menurut Cambridge Dictionary, "elite" adalah "kelompok terkaya, terkuat, terdidik terbaik, atau terlatih terbaik dalam suatu masyarakat."Dalam demokrasi, elite merujuk pada pejabat pemerintah atau pejabat publik yang terpilih atau dipilih seusai pesta demokrasi.
Namun faktanya, elite pejabat yang tampil sampai hari ini terindikasi tidak berkesesuaian dengan makna elite sesungguhnya. Berdasar kilas balik atas peristiwa demonstrasi yang terjadi pada 25 Agustus 2025 dalam rangka memprotes tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang pecah akibat ketidaketisan perilaku anggota DPR saat menerima informasi terkait kenaikan tunjangan dan respons yang justru menantang terhadap kritik. Rakyat semakin paham bahwa para elite pejabat tidak memiliki bekal meritokrasi.
Sehingga kemampuannya tiba di status elite tidak ditujukan untuk kepentingan, keadilan dan kesejahteraan rakyat, melainkan cenderung untuk kepentingan dan mencari sebanyak-banyaknya keuntungan diri dan kelompoknya. Inilah akar penyebab lahirnya fenomena "elite kepala busuk". Lantas apa indikasi dan penyebab lahirnya fenomena "elite kepala busuk"?
Berangkat dari narasi yang berkembang dalam setiap polemik dan debat atas kritik pada bidang apa pun di ruang-ruang publik, yang selalu berujung dengan argumentasi bantahan "yang menang" dan "yang kalah" merujuk pada hasil akhir pemilu, bukan membantah substansinya, kritik apa pun atau dari siapa pun datangnya, akan dikatakan sebagai barisan sakit hati karena orang yang didukungnya kalah, adalah cara-cara berpikir dangkal yang menunjukkan isi otak yang busuk (kepala busuk) sejak awal.
Sebab kritik untuk menuntut keadilan, kebenaran dan kesejahteraan bagi rakyat dalam demokrasi selalu diukur oleh siapa pemenang pemilu. Jadi siapa pun rakyat (pihak) yang melakukan kritik akan cenderung dianggap sebagai aksi yang dibuat-buat atau ada beking (yang kalah) di belakangnya. Di sini, eksistensi dan esensi rakyat sebagai warga negara dalam berbangsa dan bernegara diabaikan.Â
Rakyat netral dianggap nihil. Semua persoalan selalu ditarik ke dalam konteks menang dan kalah. Bukan baik dan buruk atau benar dan salah. Bahkan framing menang dan kalah telah menjalar ke benak banyak tokoh intelektual atau profesional, yang seharusnya menjunjung tinggi nilai kesadaran logis dalam cara beripikir kritis.  Mengapa hal bisa ini terjadi?Â
Kembali pada proses berdemokrasi yang bisa dikatakan rusak, yang ditandai dengan menurunnya indeks demokrasi Indonesia. Seperti dalam laporan "Democracy Index 2023: Age of Conflict" yang dirilis Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia berada di peringkat ke-56 dengan skor 6,53, turun dua tingkat dari tahun 2022 (skor 6,71). Dengan skor tersebut, demokrasi Indonesia masuk dalam kategori cacat (flawed democracy).
Kondisi yang sama ditunjukkan oleh data dari Freedom House, dimana nilai indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 pada tahun 2019 menjadi 57 pada tahun 2024. Lembaga yang berbasis di AS tersebut mencatat sejumlah isu kunci, salah satunya terkait politik dinasti yang dilancarkan dengan berbagai "siasat".