Dulu memaknai puisi sangat susah. Membaca dua atau tiga kali baru bisa memahami isi puisi tersebut. Semakin banyak orang mengeksplorasi puisi tersebut  dengan berbagai makna, puisi tersebut semakin dianggap bagus sebagai karya sastra.
Berbeda dengan karya sastra puisi sekarang, Sekali membaca sudah langsung paham. Ironisnya, pembaca langsung menilai bahwa puisi pragmatis yang langsung bisa dipahami tersebut dianggap bagus karena langsung bisa dicerna. Mengena pada konteks sosial kemasyarakatan.
Konteks sosial saat ini yang dipahami sangat pragmatis pula. Dulu, penyair memiliki idealisme dalam mncipta puisi. Yaitu puisi itu dicipta memang untuk puisi. Bentuk kepuasan untuk diri sendiri, dipahami atau tidak oleh pembaca, tak peduli.
Sekarang, terpenting mudah dipahami. Namun akhirnya makna filosofis puisi tersebut hilang. Idealisme puisi itu sendiri tidak ada. Puisi bukan lagi sebagai karya sastra namun sekadar pemenuhan selera publik  saja. Berorientasi pada permintaan  publik. Nilai dan makna puisi itu sendiri jadi hilang.
Hilangnya bobot puitik tersebut terjadi ketika kreator tak memertimbangkan kontemplasi filosofis, tentang permenungan filsafat. Yaitu sarat dengan permenungan, yang bisa dilakukan dengan cara diam. Tak sembarangan menggunakan kata. Harus ada pertimbangan makna kata. Dengan cara mengendapkan dulu puisi yang ditulis. Diamati, maknanya apa. Baru dibenahi menjadi puisi sebenarnya. Jangan sampai proses hanya  langsung menulis apa yang dilihat, ditulis begitu saja mengabaikan makna filosofis dan simbolik di dalamnya.
Magelang, 22102018
Ummi Azzura Wijana
Disarikan dari beberapa sumber