Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Podcast, Kemerdekaan, dan Demokrasi: Refleksi Pembungkaman Pendapat di Bulan Kemerdekaan

16 Agustus 2025   07:40 Diperbarui: 16 Agustus 2025   07:40 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi demonstrasi memprotes tindakan aparat dalam membungkam kebebasan berpendapat (Sumber: Kompas.com)

Agustus biasanya adalah bulan paling patriotik di Indonesia. Bendera merah putih berkibar di setiap sudut, lagu-lagu perjuangan berkumandang di radio, dan pidato-pidato kenegaraan menggema di gedung-gedung pemerintah. Namun, tahun ini, di balik gegap gempita perayaan 80 tahun kemerdekaan, ada cerita pahit yang membungkam sebagian semangat itu. Sebuah kasus hukum menimpa Abraham Samad, mantan Ketua KPK yang dikenal vokal melawan korupsi, hanya karena ia bicara di sebuah podcast.

Kasus ini bukan sekadar persoalan pribadi seorang tokoh, melainkan cermin betapa rapuhnya ruang kebebasan berbicara di Indonesia. Di bulan yang seharusnya menjadi pengingat perjuangan melawan penjajahan, justru terjadi pengekangan terhadap hak paling mendasar warga negara: mengungkapkan pendapat. Peristiwa ini memunculkan pertanyaan besar: apakah tahun ini kita masih merayakan kemerdekaan simbolis, sementara substansinya terus terkikis?

Abraham Samad dalam podcast tersebut membahas isu yang selama ini menjadi bisik-bisik publik: dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo. Bagi sebagian orang, ini adalah pertanyaan sah yang layak dijawab; bagi sebagian lainnya, ini dianggap penghinaan terhadap martabat kepala negara. Namun yang menjadi masalah bukan sekadar isi pembicaraan itu, melainkan respons negara yang cepat dan represif: laporan polisi, pasal karet, dan ancaman hukuman.

Bulan kemerdekaan seharusnya menjadi momen paling aman untuk berdiskusi tentang bangsa, baik memuji maupun mengkritik. Namun, kasus ini justru memberi pesan sebaliknya --- kritik terhadap penguasa bisa berujung kriminalisasi. Ironi ini membuat perayaan kemerdekaan terasa hambar, karena rakyat harus menundukkan kepala di saat mereka seharusnya menegakkannya setinggi mungkin.

Hubungan antara podcast, kemerdekaan, dan demokrasi menjadi jelas di sini. Podcast menjadi medium kebebasan, kemerdekaan menjadi cita-cita yang belum tuntas, dan demokrasi menjadi panggung yang semakin sempit untuk suara-suara kritis. Kasus Abraham Samad mengikat ketiganya dalam satu benang merah: ketakutan penguasa terhadap suara yang tak bisa dikontrol.

Podcast: Medium Baru, Ancaman Baru bagi Penguasa

Ilustrasi properti podcast (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi properti podcast (Sumber: Kompas.com)

Podcast muncul sebagai ruang alternatif di tengah kemunduran media mainstream. Tidak seperti berita di televisi atau koran yang harus melewati filter redaksi, podcast memberi keleluasaan bagi pembicaranya untuk menyampaikan pikiran tanpa sensor langsung. Di ruang ini, narasi dapat dibangun secara utuh, konteks bisa dijelaskan panjang lebar, dan pendengar dapat menyimaknya tanpa interupsi framing dari pihak ketiga.

Abraham Samad memanfaatkan format ini untuk membicarakan isu yang jarang disentuh media arus utama. Bukan karena media tidak tahu, tetapi karena ada "tembok tak kasat mata" yang membatasi mereka --- entah berupa tekanan politik, ancaman pencabutan iklan, atau risiko hukum. Podcast menjadi kendaraan yang menembus batas itu, memberi ruang bagi narasi yang biasanya disembunyikan.

Dari sudut pandang penguasa, inilah yang membuat podcast berbahaya. Tidak ada "penjaga gerbang" seperti di media tradisional. Tidak ada cara mudah untuk mengontrol apa yang dibicarakan, selain membungkam pembicaranya langsung. Ketika topik sensitif seperti legitimasi presiden muncul di podcast, reaksi negara menjadi cepat dan keras -- seperti menarik rem darurat sebelum isu itu bergulir terlalu jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun