Jika di awal Reformasi kebebasan sipil dirayakan bak pesta demokrasi tanpa henti, kini situasinya berubah drastis. Data dari berbagai lembaga, baik dalam maupun luar negeri, menunjukkan tren penurunan signifikan pada indeks kebebasan sipil dan pers. UU ITE yang awalnya digadang sebagai payung hukum dunia digital justru menjadi momok bagi kebebasan berekspresi. Jurnalis menghadapi intimidasi, aktivis dibungkam lewat laporan polisi, dan ruang publik di media sosial kian dipenuhi rasa takut. Demokrasi yang dulu hangat dan penuh suara kini terasa dingin dan penuh sensor tak kasatmata.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Penurunan kebebasan sipil dan pers terjadi seiring dengan menguatnya kontrol negara terhadap narasi publik. Kritik seringkali dibingkai sebagai ancaman stabilitas, dan perbedaan pendapat dianggap sebagai gangguan ketertiban. Hal ini menciptakan budaya "self-censorship" yang meracuni inti demokrasi itu sendiri: keberanian untuk bersuara. Ironisnya, para pembela kebebasan justru kerap dikriminalisasi, sementara penyebar disinformasi mendapat ruang lebih luas jika sejalan dengan kepentingan penguasa.
Di tingkat pers, tekanan tidak hanya datang dari negara, tetapi juga dari pemilik modal yang punya kepentingan politik. Media besar dimiliki oleh segelintir konglomerat yang duduk dekat dengan lingkaran kekuasaan. Dampaknya, pemberitaan menjadi bias, framing isu dikendalikan, dan investigasi yang berpotensi merugikan elit kerap diredam. Publik kehilangan keberagaman perspektif, dan media kecil yang masih berani bersuara kerap terpinggirkan.
Baca juga:
Dari Medan Tempur ke Medan Digital: Evolusi Nasionalsme Anak Muda Indonesia
Lebih berbahaya lagi, kondisi ini memengaruhi cara masyarakat memahami demokrasi. Publik yang dibanjiri narasi tunggal akan terbiasa menelan informasi tanpa bertanya. Ruang diskusi menjadi miskin perbedaan pendapat, dan kritik dianggap tabu. Proses pembodohan yang sistematis ini membuat demokrasi berjalan tanpa roh, sekadar formalitas prosedural yang tidak memberi ruang bagi suara minoritas.
Dengan menurunnya indeks kebebasan sipil dan pers, luka Reformasi kian menganga. Demokrasi kehilangan penyangganya: kebebasan berbicara dan pers yang independen. Tanpa keduanya, janji 1998 hanya menjadi slogan kosong, dan rakyat kembali terjebak dalam suasana yang mirip dengan zaman Orde Baru yang sudah ditumbangkan dua dekade lalu.
Gerakan Mahasiswa dan Sipil sebagai Penjaga Demokrasi
Gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil sejak era Reformasi menjadi tulang punggung perlawanan terhadap kemunduran demokrasi. Mereka adalah suara yang menolak diam ketika kebebasan dibatasi. Aksi-aksi protes, diskusi publik, hingga kampanye digital menjadi cara mereka menjaga nyala api Reformasi. Meskipun menghadapi represi dan risiko kriminalisasi, kelompok ini konsisten mengingatkan bahwa demokrasi tidak boleh dibiarkan berjalan di jalur yang salah.