Sayangnya, pola konsumsi homogen ini membawa risiko besar: dari gizi buruk karena kurang variasi zat gizi, sampai ancaman kelangkaan pangan saat stok beras terganggu. Kalau kondisi ini dibiarkan, bukan hanya kesehatan kita yang terancam, tetapi juga identitas kuliner dan budaya kita sebagai bangsa. Karena tidak semua orang sadar, makin kita meninggalkan pangan lokal, makin rapuh juga ketahanan pangan kita.
Gerakan Pemerintah: Dari Program ke Piring
Pemerintah mulai berinisiatif untuk merevitalisasi pangan lokal di tengah ancaman pola makan modern ini. Salah satu langkahnya adalah mendorong diversifikasi pangan lewat kampanye nasional. Karbohidrat bukan cuma dari nasi, tapi bisa dari jagung, sagu, atau singkong. Kampanye "Isi Piringku" adalah salah satu contoh nyata, mengganti slogan jadul "4 Sehat 5 Sempurna" dengan ajakan makan lebih beragam.
Pekan Pangan Lokal rutin digelar di berbagai daerah. Festival-festival kuliner tradisional didorong untuk memperkenalkan kembali makanan-makanan lokal kepada masyarakat luas, termasuk lewat media sosial dan event-event kreatif. Pemerintah juga mengeluarkan berbagai kebijakan, mulai dari Instruksi Presiden tentang Diversifikasi Pangan sampai insentif untuk petani pangan lokal. Program kredit mikro, pelatihan olahan pangan lokal, hingga penguatan pasar digital jadi bagian dari strategi besar ini.
Tentu saja, program-program itu tidak bisa berjalan sendiri. Budaya makan bukan cuma soal produksi makanan, melainkan juga soal rasa, kebiasaan, dan kebanggaan terhadap makanan sendiri. Itulah kenapa revitalisasi budaya makan tradisional butuh pendekatan yang jauh lebih kreatif dan membumi.
Budaya Makan Sebagai Gerakan Sosial
Budaya makan adalah identitas. Untuk itu, gerakan menghidupkan kembali pangan lokal harus melibatkan komunitas, tradisi, dan rasa memiliki. Di banyak daerah, pemerintah daerah dan komunitas adat mulai menghidupkan kembali tradisi kuliner lokal lewat festival, upacara adat, sampai wisata kuliner.
Sekolah-sekolah diajak untuk mengadakan lomba masak tradisional, pelajaran gizi berbasis makanan lokal, bahkan program makan siang sekolah berbahan pangan lokal. Generasi muda perlu diajak merasakan, bukan hanya diberi tahu.
Media sosial juga menjadi arena baru promosi pangan lokal. Chef-chef muda, influencer kuliner, dan content creator mulai ramai memperkenalkan olahan makanan lokal dengan tampilan kekinian. Bayangkan singkong jadi cake cantik, sagu jadi dessert Instagramable, jagung jadi street food ala festival Korea. Semuanya memungkinkan.