Mohon tunggu...
Sujanarko 10
Sujanarko 10 Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya adalah sekumpulan tulang yang ingin belajar tentang arti kehidupan melalui tulisan. Ya, tulisan yang semoga memberi maanfaat :)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Untuk Sebuah Nama

17 Februari 2016   15:23 Diperbarui: 17 Februari 2016   15:34 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Si, dengarkanlah kata hatimu. Semua yang dikatakannya benar! Hidup bersama seorang penulis sepertiku ini adalah kesia-siaan. Tak ada guna. Tak ada harap. Yang ada hanya kelaparan. Melarat. Sengsara!

Jika kau masih membangkang, datanglah ke rumah Mas Joni Ariadinata. Lalu, duduklah di dekatnya. Dengarkanlah ceritanya saat sedang berkisah tentang Kisah Kasih Oto dan Wiwik. Agar kau yakin, hidup bersama seorang penulis benar-benar menjijikkan. Tak punya masa depan. Jauh dari kelayakan! Apalagi kemewahan. Bagaimana tidak? Makananku saja jauh dari kata empat sehat lima sempurna. Kau catat dan dengar baik-baik saat Mas Joni berkata, ‘hari ini indomie, besok sarimi, besoknya lagi supermi, kemudian popmie; dan kalau bosan barulah beli nasi bungkus’. Itulah makanan sehari-hariku, Si. Seorang penulis yang ‘jancuk’ kata Sudjewo Tedjo. Dan Asu kata Butet Kartaredjasa.

Si, ikuti kata hatimu yang telah memilih Raden Ndoro Bei. Lagi-lagi, kata hatimu benar! Bersamanya, kau akan hidup bahagia. Rumah bertingkat dua. Mobil dan motor berjajar di garasi. Kolam renang. Makanan orang-orang Eropa; burger, roti, spageti, pizza. Dan makanan-makanan Jepang yang tak ku ketahui namanya. Kalau kau bosan, bilang saja. Nanti pelayan Mas Bei akan menyediakan nasi di meja. Tak lupa telor ceplok kesukaanmu. Ikan asin. Ayam panggang. Dan... oh ya, aku lupa. Kau lebih suka ayam penyet ya? Baiklah, baik. Langsung saja minta ganti ke si pelayanmu itu.

Si, biarkan aku sendiri. Di sini. Di antara cahaya dop 5 watt yang meremang. Bercumbu dengan bau kertas, pena dan tinta. Bahkan, mengeloni ketiganya. Tenang saja, aku tak mungkin melupakan harum bunga mawar yang menjadi kesukaanmu itu. Terlebih, mawar putih yang keindahan serta wanginya selalu kau agung-agungkan.

Si, meskipun lebih banyak waktu ku habiskan untuk kelon. Dibanding menghabiskan waktu bersamamu. Percayalah, tak mungkin ku lupakan semua kenangan tentangmu. Bahkan, aku masih ingat suara tawamu. Suara tangismu. Serta kegenitanmu. Kejahilanmu. Kemarahanmu. Ceritamu tentang dunia lain. Hutan larangan. Kunang-kunang. Semua masih terkenang. Rapi. Indah. Dan berseri. Tenangkan saja dirimu. Tak perlu risau. Baik-baik kau disana bersama Mas Bei.

Si, mengapa tatapanmu tak lagi setajam mata elang yang menakutkan? Malahan, kulihat tatapanmu itu semakin sayu. Mengapa Si?

Mengapa suaramu tak lagi sekuat dan setegas raja hutan? Lebih banyak ku dengar suaramu parau. Payah kau Si!

Si, bersikaplah seperti malam. Ya, malam! Bukankah kau sendiri yang pernah berkata padaku bahwa kau lebih nyaman ngobrol bersamaku kala malam tiba? Lantas, mengapa kau lupa? Sekarang, ijinkan aku untuk membacakan sajak tentang malam yang menjadi kesukaanmu itu. Dengarkan ya...

Malam...

Meski ia tak terlihat,

Tapi begitu memikat,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun