Langkah-langkah hukum  persuasif yang bersifat non litigation ditempuh dengan cara-cara diplomasi-negosiasi dapat membuahkan hasil yang lebih berkepastian hukum serta tidak meninggalkan aspek-aspek keuntungan ekonomi bagi Negara.
Secara substansi hukum dan politik persoalan PT.Freport Indonesia tidak dapat dilepaskan dari persoalangovernment to government antara Indonesia dan Amerika Serikat.Persoalan PT.Free Port Indonesia, tidak dapat dipandang hanya dari sisi kacamata hukum ansih, tetapi harus dilihat dari berbagai dimensi lainnya antara lain, menjaga hubungan baik dengan Negara lain (Amerika Serikat) dengan melihat dan memperhitungkan aspek historika.
Jika misalnya devistasi 51% belum dapat diwujudkan, tidak berarti Indonesia kalah dan kehilangan segala-galanya atas pengelolaan tambang oleh PT.Free Port Indonesia.Jika negosiasi dalam dunia bisnis (business law)Â dapat diperankan oleh Pemerintah Indonesia dengan baik dengan semangat menuju masa depan yang lebih baik (for the future) dapat dimungkinkan Indonesia justru akan lebih diuntungkan dibandingkan dengan misalnya memperjuangkan divestasi 51% melalui gugatan arbitrase yang masih menimbulkan ketidak pastian antara kalah dan menang.
Indonesia sebagai Negara yang memiliki kedaulatan atas wilayahnya masih memiliki peluang-peluang yang sangat variatif dalam perspektif kebijakan dari suatu Negara, sehingga dengan demikian 51% devistasi jika belum dapat direalisasikan secara normative berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku (baca, PP 1/2017) belum perlu dipaksakan dengan cara atau upaya hukum (law Enforcement), baik dalam skala nasional maupun internasional.
Penulis Dr.H.Suhardi Somomoeljono,SH.,MH.
Managing Partners Suhardi Somomoeljono & Associates(SSA Advocetes)
Artikel Lainnya : OpiniHardi